Mohon tunggu...
Muhammad Ryan Ridwan
Muhammad Ryan Ridwan Mohon Tunggu... Freelancer - Ilmu Ekonomi Syariah, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, IPB University

Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pengertian, Konsep dan Mekanisme Rahn dalam Keuangan Syariah

29 Juli 2023   21:54 Diperbarui: 29 Juli 2023   22:24 306
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Rahn termasuk sebagai akad di dalam ekonomi syariah yang memiliki sejarah yang awalnya didorong oleh berkembangnya lembaga keuangan syariah. Istilah "rahn" secara etimologi berarti tetap dan lama yakni tetap berarti. Secara istilah "Rahn" merupakan penahanan terhadap suatu barang sehingga dapat dijadikan sebagai pembayaran dari barang tersebut. 

Heri Sudarsono dalam (Haryanto, 2010) mengatakan bahwa, "Gadai dalam fiqh disebut rahn, yang menurut bahasa adalah nama barang yang dijadikan sebagai jaminan kepercayaan. Sedangkan menurut syara' artinya menyandera sejumlah harta yang diserahkan sebagai jaminan secara hak, tetapi dapat diambil kembali sebagai tebusan.

Rahn merupakan akad yang bersifat derma dikarenakan apa yang diberikan dari penggadai kepada penerima gadai (murtahin) tidak dapat digantikan dengan sesuatu. Rahn hukumnya sah menurut Al-Quran, as sunnah dan ijma. Adapun syarat rahn adalah aqid, shighat, marhun, dan marhun bih. 

Jenis Rahn (Gadai Syariah)

Rahn dapat dibedakan menjadi dua jenis :

a. Rahn 'Iqar/Rasmi (rahn Takmini/Rahn Tasjily)

Rahn 'Iqar merupakan jenis gadai, dimana barang yang digadaikan hanya dipindahkan kepemilikannya, namun barangnya sendiri masih dikuasai dan dimanfaatkan oleh pemberi gadai. Konsep ini dalam hukum positif lebih mirip kepada konsep Pemberian Jaminan secara Fidusia. Secara Fidusia berarti yang diserahkan hanyalah hak milik secara kepercayaan atas suatu benda tersebut, sedangkan barangnya masih tetap dikuasai dan digunakan untuk keperluan sehari hari pemberi barangnya. 

b. Rahn Hiyazi

Berbeda dengan Rahn 'Iqar , jenis Rahn Hiyazi sangat mirip dengan konsep gadai baik dalam hukum positif maupun dalam hukum adat. Pada Rahn Hiyazi barang yang di gadai akan dikuasai oleh kreditur. Ketika hal yang digadaikan berupa benda yang dapat diambil manfaatnya, maka penerima gadai dapat mengambil manfaat tersebut dengan menanggung biaya perawatannya.

Rukun Rahn (Gadai Syariah)

Dalam fikih muamalah, transaksi seperti gadai mempersyaratkan adanya rukun. Menurut jumhur ulama, rukun gadai itu ada empat, yaitu shighat (lafal ijab dan qabul), aqid (orang yang berakad, rahin dan murtahin), barang yang digadaikan (marhun) dan utang (marhun bih).

a. Shighat (lafal ijab dan qabul) 

Ijab qabul adalah serah terima antara pemberi gadai dengan penerima gadai. Ijab adalah pernyataan menyerahkan barang sebagai agunan bagi pemilik barang. Qabul adalah pernyataan kesediaan, memberi utang, dan menerima barang agunan tersebut. Shighat gadai tidak boleh dikaitkan dengan syarat tertentu atau dikaitkan dengan masa yang akan datang, karena akad gadai sama dengan akad jual beli. Apabila akad itu dibarengi dengan syarat tertentu atau dikaitkan dengan masa yang akan datang, maka syaratnya batal, sedangkan akadnya sah.

b. Aqid (orang yang berakad) 

Aqid adalah orang yang melakukan akad yang meliputi dua orang yang bertransaksi, yaitu rahin (pemberi gadai), dan murtahin (penerima gadai). Para ulama fikih sepakat menyatakan bahwa gadai itu dianggap sempurna apabila barang yang digadaikan secara hukum sudah berada di tangan pemberi utang, dan uang yang dibutuhkan telah diterima peminjam uang.

c. Marhun (barang yang digadaikan)

Syarat marhun menurut para pakar fikih adalah barang yang dapat diperjual-belikan, memiliki nilai ekonomis, dan dapat diambil manfaatnya. Khamar tidak dapat dijadikan barang jaminan karena khamar tidak bernilai harta dan tidak bermanfaat dalam Islam. Barang yang digadaikan harus diketahui secara jelas, baik bentuk, jenis maupun nilainya. Selain itu, barang yang digadaikan harus milik orang yang berutang secara sah, tidak terkait dengan hak orang lain, seperti harta serikat. Barang jaminan berupa harta yang utuh, tidak bertebaran dalam beberapa tempat. Nilai barang jaminan seimbang dengan besarnya utang atau lebih.

 

d. Marhun bih (utang)

Marhun bih (utang) merupakan hak wajib yang harus dikembalikan kepada orang tempat berutang. Utang itu dapat dilunasi dengan barang jaminan tersebut dan utang itu harus jelas dan tertentu.

Hukum Rahn

Setiap akad syariat Islam, termasuk akad rahn, pasti mengacu pada tiga sumber utama, yaitu Al-Quran, Al-Hadits dan ijma para ulama. Para ulama sepakat bahwa rahn boleh tetapi tidak wajib karena gadai hanya menjadi jaminan jika kedua belah pihak tidak saling percaya.

Firman Allah hanyalah irsad (anjuran baik saja) kepada orang yang beriman sebab dalam lanjutan ayat tersebut dinyatakan, yang artinya :

"Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah secara tidak tunai) sedangkan kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh piutang). Akan tetapi, jika sabagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercaya itu menunaikan amanatnya (utangnya). (Q.S.Al baqarah :283).

Ulama Fiqh sepakat bahwa ar-rahn dapat dilakukan selama perjalanan dan kehadiran ketika debitur dapat secara sah menguasai/mengelola agunan. Dengan kata lain, karena debitur tidak dapat mengurus/mengelola semua jaminan secara langsung, maka sekurang-kurangnya ada semacam perintah yang dapat digunakan untuk menjamin barang tersebut dalam keadaan al-Marhun (sebagai jaminan utang). Misalnya, jika jaminannya adalah sebidang tanah, maka sertifikat jaminan negara itu dipantau. 

Tidak ada jaminan kecuali dengan ijab dan qabul. Dan tidak harus pengalihan, jika keduanya sepakat bahwa jaminan ada di tangan kreditur (pegadaian), maka undang-undang membolehkannya. Dan jika keduanya sepakat bahwa keselamatan ada di tangan orang yang bertakwa, maka hukum pun berlaku. Dan jika keduanya memiliki hartanya, hakim akan memberikannya kepada orang benar. Semua barang yang dijual juga dilengkapi dengan jaminan.

Sumber hukum lain berasal dari amalan Rasulullah sallallahu alaihi wasallam yang menjadi dasar para ahli fikih yang menyepakati bahwa akad rahn adalah hal yang mubah, yang dapat dipelajari dari Al Bukhari No. 2513 dan Muslim no. 1603 Dikisahkan Umul Mu'minin A'ishyah Radhiyallahu 'anha. "Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam membeli makanan dari seorang Yahudi secara mengutang dan menggadaikan baju besinya" [HR Al Bukhari dan Muslim].

Menurut kesepakatan peristiwa para ahli fiqih Nabi SAW. merahnkan baju besinya adalah kasus ar-rahn pertama dalam Islam dan dilakukan oleh Nabi sendiri. Berdasarkan ayat dan hadits di atas, para ulama fiqh sepakat  bahwa akad ar-rahn diperbolehkan karena mengandung banyak manfaat dalam hubungan hubungan antarmanusia.

Konsensus para ulama mengenai akad rahn juga didasarkan pada sifat orang yang tidak dapat hidup sendiri tanpa bantuan dan bantuan saudaranya, termasuk pinjam meminjam. Selain itu, fatwa Dewan Syari'ah Nasional No. 25/DSNMUI/III/2002, 26.06.2002, disebutkan bahwa pinjaman diperbolehkan dalam perjanjian pengangkutan barang gadaian sebagai jaminan hutang.

Mekanisme Pegadaian Syariah

Mekanisme operasional Pegadaian Syariah dapat dijelaskan sebagai berikut: Melalui akad rahn, nasabah menyerahkan barang bergerak kepada Pegadaian. Selanjutnya, Pegadaian bertanggung jawab untuk menyimpan dan merawat barang tersebut di lokasi yang telah disediakan oleh Pegadaian. Dalam proses penyimpanan ini, timbul berbagai biaya seperti biaya investasi untuk tempat penyimpanan, biaya perawatan, dan biaya keseluruhan proses kegiatan.

Karena adanya biaya-biaya tersebut, Pegadaian berhak untuk mengenakan biaya sewa kepada nasabah. Jumlah biaya sewa ini ditentukan berdasarkan kesepakatan antara Pegadaian dan nasabah. Hal ini diakui sebagai bagian yang sah dari mekanisme operasional Pegadaian Syariah untuk memastikan kelangsungan layanan dan perawatan barang yang diserahkan oleh nasabah.

Jadi Rahn itu berarti Gadai, dengan berbagai jenis rahn seperti Rahn Iqar dan Rahn Hiyazi, Selain itu Rahn juga memiliki beberapa jenis Rukun yang terbagi atas 4 bagian yaitu, Shighat (lafal ijab dan qabul), Aqid (orang yang berakad), Marhun (barang yang digadaikan), dan Marhun bih (utang), Kemudian untuk Hukum dari Rahn sendiri Para ulama sepakat bahwa rahn boleh tetapi tidak wajib karena gadai hanya menjadi jaminan jika kedua belah pihak tidak saling percaya.

Dengan Firman Allah pada Surat Al Baqarah Ayat 283 yang memiliki (anjuran baik saja) kepada orang beriman yang artinya :

"Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah secara tidak tunai) sedangkan kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh piutang). Akan tetapi, jika sabagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercaya itu menunaikan amanatnya (utangnya). (Q.S.Al baqarah :283). Sumber hukum kedua berasal dari amalan Rasulullah sallallahu alaihi wasallam yang menjadi landasan para ulama fiqh bersepakat untuk mengatakan bahwa akad rahn adalah hal yang diperbolehkan

Dan yang terakhir untuk mekanisme pegadaian syariah Melalui akad rahn, nasabah menyerahkan barang bergerak kepada Pegadaian. Selanjutnya, Pegadaian bertanggung jawab untuk menyimpan dan merawat barang tersebut di lokasi yang telah disediakan oleh Pegadaian. Dalam proses penyimpanan ini, timbul berbagai biaya seperti biaya investasi untuk tempat penyimpanan, biaya perawatan, dan biaya keseluruhan proses kegiatan.

DAFTAR PUSTAKA

Fadllan. (2014). Gadai syariah; perspektif fikih muamalah dan aplikasinya dalam perbankan. Iqtishadia, 1(1), 33--35. https://doi.org/10.19105/iqtishadia.v1i1.364

https://irmadevita.com/2010/jenis-jenis-rahn/

Surepno.(2018). Studi Implementasi Akad Rahn (Gadai Syariah) Pada Lembaga Keuangan.Tawazun:Journal of Sharia Economic Law, 1(2), 179-180.https://journal.iainkudus.ac.id/index.php/tawazun/article/viewFile/5090/3263

Lutfiyah, Minikmatin (2010). Analisis hukum Islam terhadap pelaksanaan Fatwa DSN nomor: 26/DSN-MUI/III/2002. Undergraduate (S1) thesis, IAIN Walisongo. http://eprints.walisongo.ac.id/id/eprint/3128/

Uma, Qusnatul (2020). Penerapan Fatwa DSN No: 68/ DSN-MUI/iii/2008 tentang RAHN TASJILY dalam Masa Perjanjian Pembiayaan ARRUM BPKB. Undergraduate (S1) thesis, IAIN Kediri. http://etheses.iainkediri.ac.id/2284/

Haryanto BS. 2010. Kedudukan Gadai Syariah (Rahn) Dalam Sistem Hukum Jaminan Indonesia. J Dinamika Hukum. http://dx.doi.org/10.20884/1.jdh.2010.10.1.133   

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun