Makanan adalah bagian integral dari kehidupan manusia, tidak hanya sebagai sumber nutrisi tetapi juga sebagai refleksi budaya, identitas, dan sejarah suatu masyarakat. Melalui makanan, kita dapat melacak jejak-jejak sejarah dan memahami bagaimana budaya suatu daerah.
Docang merupakan salah satu makanan kuliner khas dari daerah Cirebon. Makanan yang terbuat dari potongan lontong, parutan kelapa, daun singkong yang sudah di rebus, daun kucai yang sudah di rebus, toge, dan kerupuk. Bahan-bahan tadi kemudian disiram dengan kuah dage atau oncom (tempe).Â
Makanan yang menjadi rekomendasi untuk dinikmati bagi para wisatawan yang akan melancong ke daerah Cirebon bisa di jumpai di pinggir pinggir jalan yang ada di daerah Cirebon.
Menikmati semangkuk docang di pagi hari dimana cuaca cirebon yang terkenal dengan panas nya membuat lidah segar dan membuat tubuh bisa bergerak secara energik untuk mengarungi aktivitas berjalan jalan menikmati wisata wisata yang ada di cirebon atau aktivitas aktivitas yang lainnya.Â
Pagi hari memang menjadi waktu yang rekomeded, namun bukan berarti docang tidak bisa dinikmati pada siang, sore atau malam hari. Hanya dengan membayar 10 ribu rupiah, kamu sudah bisa menikmati semangkuk docang yang nikmat.
Docang tidak hanya rasa nya saja yang nikmat, tetapi makanan yang lezat ini juga memiliki sebuah sejarah yang menarik di dalam nya. Nama docang itu singkatan dari godogan kacang atau yang berarti rebusan air kacang yang dihaluskan.Â
Pada abad 15 Dalam sejarahnya, docang ini dibuat oleh sekelompok orang yang tidak menyukai kegiatan dakwah atau kegiatan penyebaran agama islam yang dilakukan oleh para Wali Songao (sembilan wali) di daerah Cirebon.Â
Kemudian mereka membuat sebuah makanan dari sisa sisa bahan makanan yang sebelumnya digunakan untuk para sultan yang akan disuguhkan untuk para Wali Songo yang sedang berkumpul di masjid sang cipta rasa.Â
Asa menyajikan makanan yang nikmat untuk para Wali Songo ini, justru makanan yang akan disuguhkan oleh sekelompok orang ini dicampur dengan racun, akan tetapi dengan kuasa tuhan yang maha luar biasa, racun yang terkandung di dalam makanan tersebut malah tidak bereaksi atau tidak berpengaruh kepada para Wali Songo, malah sebaliknya. Makanan tersebut justru sangat enak dan membuat para Wali Songo sangat menyukainya.
Makanan bukan hanya  sekadar dari kebutuhan biologis saja, ia adalah saksi bisu dari perjalanan sejarah manusia. Melalui makanan, kita bisa membaca perubahan zaman, interaksi antarbudaya, dan perkembangan sosial ekonomi suatu masyarakat.
Dengan demikian, kita diharapkan untuk bisa melestarikan makanan makanan yang mengandung sejarah budaya daripada makanan makanan cepat saji yang kurang sehat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H