Mulai dari praktik ribawi seperti bunga pinjaman yang mencekik, ancaman fisik bagi peminjam yang ttidak bisa bayar hutang, acaman penyebaran rahasia pribadi kepada publik melalui sosial sosial media dan lain sebagainya. Â
Dalam kajian fikih muamalah kontemporer pinjam uang dengan cara online hukumnya boleh.
Serah terima secara hukmiy (legal-formal/non-fisik) dianggap telah terjadi baik secara i'tibran (adat) maupun secara hukman (syariah maupun hukum positif) dengan cara takhliyah (pelepasan hak kepemilikan di satu pihak) dan kewenangan untuk tasharruf  (mengelola/memperjualbelikan/menggunakan di pihak lain), meskipun serah terima secara hissan (fisik barang) belum terjadi. (Baca: Al-Ma'ayir As-Syar'iyah An-Nasshul Kamil lil Ma'ayiri As-Syar'iyah, halaman 57). Dalam ibarat fikih yang lain disebutkan:Â
.... , .
"Yang dipertimbangkan dalam akad-akad adalah subtansinya bukan bentuk lafaznya, dan jual beli via telpon, teleks, telegram dan sejenisnya telah menjadi alternatif yang utama dan dipraktikkan." (Syekh Ahmad bin Umar Asy-Syathiri, Syarh al-Yaqut an-Nafiis, II/22). Â
Meski transaksi pinjaman online (pinjol) hukumnya boleh, akan tetapi orang atau lembaga yang mempraktikan pinjaman online hendaknya memperhatikan beberapa hal sebagai berikut:
Pertama, tidak menggunakan praktik ribawi (riba: rentenir). Riba dalam berpiutah adalah sebuah penambahan nilai atau bunga melebihi jumlah pinjaman saat dikembalikan dengan nilai tertentu yang diambil dari jumlah pokok pinjaman untuk dibayarkan oleh peminjam.
Larangan (keharaman) praktik riba disebut secara eksplisit (sharih) dalam Alquran:Â
"Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba." (QS Al Baqarah 275).Â
Larangan dan kecaman praktik riba disebut dalam banyak hadis Rasulullah, antara lain:Â
- - "Rasulullah SAW melaknat pemakan riba (rentenir), penyetor riba (nasabah yang meminjam), penulis transaksi riba dan dua saksi yang menyaksikan transaksi riba." Kata beliau, "Semuanya sama dalam dosa." (HR Muslim)Â