Mohon tunggu...
Muhammad Rijal Wahid Muharram
Muhammad Rijal Wahid Muharram Mohon Tunggu... Dosen - Dosen S1 PGSD Kampus Tasikmalaya - UPI

Belajar terus, terus belajar..

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kurikulum Merdeka, Assessment for Learning, dan Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar

10 Juni 2024   16:36 Diperbarui: 10 Juni 2024   17:09 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kurikulum Merdeka resmi ditetapkan sebagai kurikulum nasional yang direncanakan mulai diterapkan pada tahun ajaran baru 2024/2025. Hal ini ditandai dengan ditetapkannya Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 12 Tahun 2024 tentang Kurikulum pada Pendidikan Anak Usia Dini, Jenjang Pendidikan Dasar, dan Jenjang Pendidikan Menengah. Ada banyak nomenklatur baru yang muncul pada Kurikulum Merdeka yang menjadi tanda bahwa kurikulum disusun sebagai respon atas kondisi dan kebutuhan akan siswa saat ini.

Menilik lebih jauh, lahirnya Kurikulum Merdeka tidak dapat dilepaskan dari perubahan pesat yang dipengaruhi faktor teknologi dan informasi sehingga menyebabkan dunia masuk pada era yang disebut dengan VUCA. VUCA mengacu kepada akronim dari Volatility, Uncertainty, Complexity, & Ambiguity yang pada awalnya digunakan oleh US Army War College pada akhir tahun 1990-an, dan berkembang pada dunia kontemporer untuk menggambarkan perubahan teknologi, kondisi ekonomi global, pasar keuangan yang tidak stabil, dan perilaku konsumen. 

VUCA yang pada awalnya lebih diasosiasikan dengan dunia bisnis, saat ini mulai sering diperbincangkan kaitannya dengan dunia pendidikan, terutama dengan adanya pandemic Covid-19 sejak tahun 2020. Covid-19 yang selama beberapa waktu mendorong terbatasnya interaksi dan aktivitas luar ruangan,  menuntut perubahan dan adaptasi yang begitu cepat dalam dunia pendidikan. 

Kebiasaan-kebiasaan baru muncul selepas pandemi berakhir, seperti: literasi teknologi yang semakin tinggi dan dibutuhkan dalam pembelajaran, pendekatan pembelajaran yang lebih bervariatif, serta pengetahuan guru dalam mengelola pembelajaran yang perlu semakin meningkat.

Respon terhadap VUCA difasilitasi dengan penyesuaian pada Kurikulum Merdeka. Peluang Kurikulum Merdeka untuk mengembangkan kualitas pendidikan di Indonesia berada pada kesempatan berbagai macam teknologi pembelajaran baru, baik itu pendekatan, model, metode, media, sampai kepada penilaian pembelajaran yang lebih dapat dipersonalisasi. 

Selain itu, paradigma konstruktivisme yang digunakan dalam Kurikulum Merdeka mendorong adanya pengalaman yang bermakna bagi siswa dalam proses belajar. 

Paradigma kontruktivisme ini melihat bahwa belajar sebagai proses aktif yang mengkontruksikan arti baik dalam bentuk teks, dialog, pengalaman fisis, ataupun bentuk lainnya. 

Alih-alih berfokus hanya kepada hasil, konstruktivisme mendorong kepada pengembangan konsep dan pemahaman yang didasarkan atas pengetahuan awal siswa, baik melalui proses asimilasi maupun akomodasi. 

Assessment for Learning pada Kurikulum Merdeka di Sekolah Dasar

Salah satu perkembangan yang strategis pada Kurikulum Merdeka adalah karakteristik pembelajaran yang dirancang. Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 12 Tahun 2024 tentang Kurikulum pada Pendidikan Anak Usia Dini, Jenjang Pendidikan Dasar, dan Jenjang Pendidikan Menengah, Kurikulum Merdeka dirancang dengan karakteristik pembelajaran sebagai berikut: 

  1. memanfaatkan Penilaian atau asesmen pada awal, proses, dan akhir pembelajaran untuk memahami kebutuhan belajar dan perkembangan proses belajar yang telah ditempuh Peserta Didik; 

  2. menggunakan pemahaman tentang kebutuhan dan posisi Peserta Didik untuk melakukan penyesuaian pembelajaran; 

  3. memprioritaskan terjadinya kemajuan belajar Peserta Didik dibandingkan cakupan dan ketuntasan muatan Kurikulum yang diberikan; dan 

  4. mengacu pada refleksi atas kemajuan belajar Peserta Didik yang dilakukan secara kolaboratif dengan Pendidik lain.

Keempat karakteristik tersebut mendorong personalisasi pembelajaran yang memiliki relevansi yang erat dengan Assessment for Learning. 

Assessment for Learning adalah tentang memberi tahu peserta didik tentang kemajuan mereka untuk memberdayakan mereka mengambil tindakan yang diperlukan guna meningkatkan kinerja mereka. Guru menciptakan kesempatan belajar di mana peserta didik dapat maju sesuai kecepatan mereka sendiri dan melakukan kegiatan konsolidasi jika diperlukan. 

Latar belakang dari Assessment for Learning adalah sorotan perlunya mengurangi beban penilaian eksternal sekaligus menantang dan mengembangkan peserta didik yang lebih mampu. 

Pendidik kembali ke hal-hal mendasar dimana mereka perlu melakukan penilaian internal untuk kepentingan peserta didik, bukan semata-mata untuk memenuhi persyaratan sistem penilaian eksternal dansebagai hasilnya, memaksimalkan pembelajaran dan meningkatkan pencapaian dalam sesi belajar mengajar individu. 

Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar: Adaptasi dengan Kemajuan

Pembelajaran Matematika seringkali dianggap sebagai suatu hal yang menakutkan, bahkan seringkali terpilih menjadi salah satu mata pelajaran yang "paling dihindari" oleh peserta didik. Hal ini cukup beralasan, karena pembelajaran matematika mendorong aktivitas berpikir yang seringkali dianggap sebagai suatu aktivitas yang menyulitkan. Padahal, di era VUCA saat ini, kemampuan berpikir yang berdampak pada keberhasilan penyelesaian permasalahan dan pengambilan keputusan adalah hal yang penting. 

Pembelajaran Matematika, terutama di Sekolah Dasar, adalah fase dasar untuk membekali kemampuan berpikir peserta didik. Ada 3 (tiga) hal yang berkenaan dengan peluang keberhasilan dalam meningkatkan prestasi dan hasil belajar, khususnya pada pembelajaran matematika pada Kurikulum Merdeka, yakni: 1) Personalisasi peserta didik melalui fleksibilitas pembelajaran; 2) Penilaian yang berfokus kepada pengembangan dan ketuntasan belajar peserta didik; dan 3) Model pembelajaran kolaboratif.

Personalisasi Peserta Didik melalui Fleksibilitas Pembelajaran

Seperti yang sudah diketahui, bahwa konsep "kelas" yang biasanya digunakan pada kurikulum-kurikulum sebelumnya, dikembangkan menjadi konsep "fase". Fase adalah tahapan perkembangan belajar peserta didik yang ditentukan dalam jangka 2 (dua) level di tingkat Sekolah Dasar, yang di setiap akhir kegiatannya dilaksanakan proses asesmen untuk melihat sejauh mana capaian pembelajaran. 

Capaian Pembelajaran pada Kurikulum Merdeka mendorong adanya fleksibilitas dalam penentuan tujuan pembelajaran di setiap pertemuan kurikulernya. Pembelajaran yang pada awalnya cenderung sebagai "tahapan-tahapan yang dituntaskan dalam jarak-jarak yang pendek", menjadi "lintasan panjang" yang memberikan kebebasan kepada guru untuk melakukan personalisasi kegiatan pembelajaran. 

Kondisi ini sangat selaras dengan kebutuhan pembelajaran matematika yang seringkali membutuhkan waktu yang tidak singkat. Misalnya, beberapa pendekatan/model seperti Pendekatan Investigatif, Problem based Learning,  atau bahkan Realistic Mathematics Education, salah satu kelemahan dari pendekatan/model tersebut adalah membutuhkan waktu pembelajaran yang tidak sebentar. 

Selain itu, paradigma pembelajaran matematika saat ini yang berfokus kepada proses dengan menghargai daya juang produktif (productive struggle) peserta didik, seringkali membutuhkan fleksibilitas dalam sisi waktu maupun capaian pembelajaran, baik secara holistik untuk di setiap kelas, maupun masing-masing individu.

Penilaian yang berfokus kepada pengembangan dan ketuntasan belajar peserta didik

Kurikulum Merdeka mendefinisikan bahwa Penilaian adalah proses pengumpulan dan pengolahan informasi untuk mengetahui kebutuhan belajar dan capaian perkembangan atau hasil belajar peserta didik. Sehingga, penilaian tidak sekedar dijadikan sarana yang bersifat evaluatif, melainkan juga digunakan dalam upaya deskriptif untuk melihat perkembangan dan kebutuhan siswa. 

Sehingga, mathematical anxiety atau kecemasan matematika siswa diharapkan dapat berkurang, apalagi dengan berbagai macam bentuk asesmen, yang tidak hanya berfokus kepada peserta didik yang berhasil mendapatkan nilai terbaik, melainkan juga capaian-capaian psikomotor dan afektif lain dalam pembelajaran matematika di Sekolah Dasar. Asesmen tidak sekedar disimpan pada akhir kegiatan pembelajaran, melainkan juga pada awal dan proses pembelajaran. 

Rekomendasi Keberhasilan

  1. Memulai dengan Pemberian Umpan Balik yang Konsisten terhadap Peserta Didik

Dalam wacana Assessment for Learning (AfL), umpak balik yang diberikan oleh guru kepada siswa di kelas, diasumsikan memiliki pengaruh yang menguntungkan terhadap konstruksi pengetahuan siswa. Umpak balik di kelas diasumsikan memiliki pengaruh yang menguntungkan terhadap konstruksi pengetahuan siswa meskipun sebagian guru masih berpikir bahwa memberikan umpan balik yang ideal adalah sesuatu yang membuat "frustasi" dan menghabiskan banyak waktu hanya untuk sekedar menyimpulkan bahwa siswa sudah atau belum memiliki pemahaman, namun hal ini tetap menjadi aktivitas kunci dalam pembelajaran. Umpan balik yang diberikan dengan memperhatikan: 1) Latar belakang peserta didik; 2) Kepekaan terhadap waktu dalam memberikan umpan balik; dan 3) Membangun lingkungan belajar (Learning Environment) yang mendukung pembelajaran.

  1. Keharusan Pendidik untuk mengimplementasikan Self-Assessment, Peer-Assessment untuk Peserta Didik dengan baik

Kegiatan pembelajaran merupakan "panggung" untuk peserta didik sebagai manusia yang memiliki kemampuan untuk berpikir dan belajar hal-hal baru. Sebagai seorang fasilitator, Pendidik mengondisikan perannya untuk memfasilitasi peserta didik dalam merefleksikan keberhasilan belajar secara mandiri. Hal ini menjadi inti dari aktivitas Assessment for Learning. Sehingga, peserta didik merasa memiliki jalur belajar (learning path)-nya sendiri, mengetahui apa yang sudah dicapai, dan hal apa yang harus diperjuangkan untuk diselesaikan. 

Selain itu, karena keberhasilan seringkali juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan, aktivitas peer-assessment menjadi rekomendasi untuk dilaksanakan oleh Pendidik. Tentu, dengan pendampingan agar aktivitas peer-assessment bukan menjadi sarana pelampiasan ego masing-masing individu, melainkan sebagai sarana "empati belajar" sehingga satu dengan yang lain dapat berkolaborasi untuk melakukan perbaikan dan peningkatan kualitas belajar, khususnya pada pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar.

Penutup

Kurikulum Merdeka dapat menjadi solusi dalam merespon perubahan dan kemajuan teknologi dan informasi yang begitu pesat. Alangkah baiknya, jika Kurikulum Merdeka dilihat bukan dalam kacamata parsial terhadap Kurikulum sebelumnya, melainkan perlu dipandang sebagai proses penyempurnaan. 

Salah satu hal yang relevan dalam Kurikulum Merdeka adalah filosofinya yang mendorong personalisasi pembelajaran untuk Peserta Didik serta penilaian yang tidak hanya cenderung evaluatif, melainkan juga deskriptif, sehingga dapat digunakan sebagai bagian dari proses pembelajaran yang dikenal dengan "Assessment for Learning".

Kolaborasi konsep "Assessment for Learning" dengan Kurikulum Merdeka diproyeksikan akan mendorong peningkatan prestasi dan hasil belajar Peserta Didik, khususnya dalam pembelajaran Matematika. Hal ini, tentunya dengan beberapa catatan dan rekomendasi, diantaranya: 1) Memulai dengan umpan balik yang konsisten terhadap Peserta Didik; dan 2) Keharusan Pendidik untuk mengimplementasikan Self-Assessment dan Peer-Assessment untuk Peserta Didik dengan baik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun