Dalam filsafat kita, tauhid sosial adalah perjuangan menghapus relasi eksploitatif antar kelas, adalah upaya mewujudkan relasi harmonis antar kelas. Dan itu dimulai dengan pencerahan, bahwa orang lain adalah alat perfeksi jiwa, bahwa tuhan-tuhan berkulit, harus dihapuskan.
Menutup ini, saya pesankan. Duhai kawan, masa-masa gerilia sudah usai, dilakoni para pendahulu. Namun perjuangan belum usai. Lanjutkan perjuangan dengan tujuan yang sama, tapi semangat dan taktik yang baru.
Jika tak mampu teriak, tulis. Jika tak bisa nulis, buat atau kutip quotes. Jika masih tak mampu juga, diam dan amati. Diam adalah perlawanan, jauh lebih baik dari berisik tanpa isi, itu memperpanjang barisan kebodohan.
Jika tak mampu meruntuhkan kerajaan tuhan-tuhan bertulang, setidaknya jangan biarkan pemuja, juga korbannya terus bertambah. Kerja sudah, gajian sudah, makan-minum sudah, tidur juga sudah, sex sampai klimax, lantas apalagi yang kalian tunggu? Bergeraklah, jangan hidup seperti satwa.
Jika tak mampu tanamkan benih-benih revolusioner pada rahim-rahim suci kaum hawa, itu bukan alasan untuk berdiam diri macam sapi. Jadilah bidan yang membantu lahirya kaum tercerahkan. Bersetubuh dengan gagasan, lahirkan anak ideologis.
Kayu berakar hitam dengan dua biji yang tersembunyi di balik celanamu bukan senjata mematikan. Ia adalah sumber air kehidupan, jangan hamburkan dengan menembakkannya ke sembarang tempat.
Dan kalian para wanita, belajarlah dari sepasang buah berair yang tumbuh di lembah dadamu. Dihisap, perih, tapi mengalirkan air kehidupan bagi bayi-bayi yang kehausan. Bukan hanya dihisap raja-raja, walau nikmat. Apalah artinya kenikmatan yang tidak menghidupkan.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H