Pendidikan adalah salah satu fondasi utama pembangunan bangsa, namun Indonesia terus menghadapi tantangan serius dalam sektor ini. Data dari Programme for International Student Assessment (PISA) pada 2018 menunjukkan bahwa kemampuan membaca, matematika, dan sains siswa Indonesia masih berada pada peringkat yang rendah dibandingkan negara-negara lain, bahkan di Asia Tenggara. Di balik angka-angka ini, ada sejumlah masalah struktural yang menghambat peningkatan kualitas pendidikan kita. Dari kualitas guru, kurikulum, hingga akses ke pendidikan yang merata, mari kita lihat lebih dalam mengapa sistem pendidikan Indonesia belum efektif dan bagaimana hal ini berdampak pada masa depan bangsa.
1. Kurikulum yang Terlalu Berubah-Ubah
Salah satu masalah utama dalam sistem pendidikan Indonesia adalah kurikulum yang terlalu sering diubah tanpa evaluasi menyeluruh. Perubahan kurikulum dilakukan setiap beberapa tahun, tetapi sayangnya, perubahan ini seringkali tidak disertai dengan persiapan yang memadai untuk para guru. Akibatnya, banyak guru yang kebingungan dalam mengimplementasikan kurikulum baru, dan proses belajar-mengajar menjadi tidak efektif. Penelitian menunjukkan bahwa kurikulum yang konsisten namun fleksibel sesuai perkembangan dunia lebih efektif dalam meningkatkan daya pikir kritis siswa daripada kurikulum yang berubah terlalu cepat (Dyer, 2019).
Sebagai contoh, Kurikulum 2013 yang diterapkan beberapa tahun lalu dianggap terlalu padat dan sulit diimplementasikan, sehingga sebagian besar sekolah masih bergantung pada metode hafalan daripada pemahaman kritis. Banyak siswa justru terbebani dengan berbagai materi yang tidak relevan dengan perkembangan karir di masa depan. Selain itu, pendekatan berbasis hafalan ini membuat kemampuan siswa dalam berpikir kritis dan analitis menjadi kurang terasah.
2. Kualitas Guru yang Masih Rendah
Guru adalah ujung tombak dalam proses pendidikan. Sayangnya, menurut data dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), banyak guru di Indonesia belum memiliki kualifikasi dan kompetensi yang memadai untuk mengajar secara efektif. Sebuah studi menemukan bahwa sekitar 30% guru di Indonesia tidak memiliki sertifikasi yang diperlukan, yang menunjukkan kurangnya pelatihan formal dan sertifikasi profesi untuk mereka. Selain itu, kompetensi pedagogis dan penguasaan materi yang kurang menyebabkan kualitas pembelajaran yang diberikan jauh dari ideal (Widodo & Wahyuni, 2020).
Masalah ini diperparah oleh rendahnya kesejahteraan guru di banyak daerah. Banyak guru honorer yang bekerja dengan gaji minim, bahkan kurang dari Upah Minimum Regional (UMR), sehingga motivasi untuk meningkatkan kemampuan diri juga terpengaruh. Di beberapa daerah terpencil, guru bahkan harus mengajar berbagai mata pelajaran tanpa dukungan yang memadai. Padahal, studi menunjukkan bahwa kualitas guru yang baik merupakan salah satu faktor kunci dalam peningkatan kualitas pendidikan (Hattie, 2009).
3. Ketimpangan Akses Pendidikan Antardaerah
Indonesia adalah negara kepulauan yang sangat luas, dan hal ini berdampak pada akses pendidikan yang tidak merata antara daerah perkotaan dan pedesaan. Di kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya, akses ke fasilitas pendidikan berkualitas relatif lebih mudah dibandingkan dengan daerah-daerah terpencil di Papua atau Nusa Tenggara Timur (NTT). Menurut laporan Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah anak putus sekolah di beberapa provinsi masih cukup tinggi, terutama di wilayah dengan akses pendidikan yang terbatas (BPS, 2022).
Ketimpangan ini juga terlihat dalam fasilitas pendidikan yang tersedia. Di banyak daerah pedesaan, masih terdapat sekolah-sekolah yang tidak memiliki fasilitas dasar seperti perpustakaan, laboratorium, atau bahkan akses internet. Sementara itu, siswa di kota besar sudah mulai belajar dengan menggunakan teknologi. Ketimpangan ini mengakibatkan kesenjangan kualitas pendidikan yang signifikan, yang pada akhirnya akan memengaruhi kesempatan anak-anak di daerah terpencil untuk bersaing di tingkat nasional.
4. Minimnya Anggaran dan Korupsi dalam Pengelolaan Pendidikan