Mohon tunggu...
Muhammad Ridwan Tri Wibowo
Muhammad Ridwan Tri Wibowo Mohon Tunggu... Lainnya - Pengangguran

Suka jalan kaki.

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Ulasan Buku: Zaman Peralihan

12 Juli 2023   15:29 Diperbarui: 12 Juli 2023   15:32 367
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penyunting                 : Stanley dan Aris Santoso

Penyunting Bahasa : Windy Ariestanty dan Purti Salma Nafi'ah

Desain Cover              : Buldanul Khuri

Gambar Cover           : Ucup

Tata letak                    : Erwan Supriyono

Penerbit                       : Mata Bangsa

Cetakan Pertama, 2016

Buku Zaman Peralihan adalah kumpulan artikel-artikel Soe Hok Gie yang sebagian tersebar di media massa dalam rentang tahun 1966-1969. Tulisan-tulisannya yang tajam, mengigit dan seringkali sinis membuat rasa kemanusiaan setiap pembacanya seperti dirobek-robek. Membaca tulisan-tulisannya, rasanya tepat kalau kita menyebutnya sebagai seorang intelektual.

Menurut Kuntowijoyo, lewat tulisan-tulisan Soe Hok Gie, kita bisa melihat bahwa sebenarnya ia adalah seorang intelektual yang selalu gelisah dan 'cepat panas' melihat kepincangan sosial yang terjadi di sekelilingnya. Bisa kita lihat pula bahwa Soe Hok Gie adalah seorang intelektual yang sistematik, artinya dia berpikir, merumuskan; konsep dan melakukan gerakan penyadaran, sekaligus melakukan upaya untuk mempengaruhi opini umum.

Sayangnya Soe Hok Gie adalah abortus intellectual, yaitu intelektual yang meninggal di usia muda. Ia secara spontan melemparkan berbagai gagasan, kontemplasi, tapi belum sempat menyatakan solusi.

Buku ini pun terbagi menjadi empat bagian, yaitu: 1) Masalah Kebangsaan, 2) Masalah Kemahasiswaan, 3) Masalah Kemanusiaan, 4) Catatan Turis Terpelajar.

Masalah Kebangsaaan

Bagian pertama diawali dengan tulisan Soe Hok Gie yang berjudul "Di Sekitar Demonstrasi-Demonstrasi Mahasiswa" di Jakarta yang menceritakan berdirinya organisasi (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia Kami (KAMI), lalu tiga tuntutan pokok mahasiswa KAMI, serta terbunuhnya dua mahasiswa yang Bernama Arief Rachman Hakim dan Zubaidah.

"Menaklukan Gunung Slamet" adalah tulisan Soe Hok Gie yang paling saya suka, namun saya tidak setuju atas judul tersebut. Kata "menaklukan" terkesan sombong karena menurut saya alam tidak untuk ditaklukan. Berikut salah satu kalimat yang cukup mengena di hati, antara lain:

"Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal objeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat."--halaman 38

Lalu, dalam tulisan "Kuli Penguasa atau Pemegang Saham" kita bisa melihat bahwa kelahiraan Orde Baru sudah dimulai dari akhir tahun 1950-an, Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (Seskoad) di bawah pimpinan Brigjen Soewarto, merekrut kalangan akademisi, terutama yang menjadi korban Soekarno.

Masalah Kemahasiswaan

Pada bagian kedua Soe Hok Gie menuliskan cerita tentang mahasiswa-mahasiwa Pei Ta---Universitas Peking berjuang melawan kediktatoran Mao Ze Dong yang berakhir tragis, lalu masa-masa akhirnya menjadi mahasiswa, bobroknya kalangan mahasiswa UI dan tabiat dosen-dosen suka membolos sampai 50% per semester.

Dalam tulisan "Seorang Dosen, Seorang Pengacara, dan Seorang Mahasiswa" saya menangis membacanya. Di mana seorang bernama Boy menerima mayat seorang tahanan dari polisi dengan berat badan tiga puluh kilo lebih. Menurut polisi, ia orang gila dan menolak makan di penjara. Tetapi setelah diperiksa lebih lanjut oleh Boy ternyata ia menderita sejenis penyakit dimulutnya. Menurut Boy, tahanan-tahanan yang ada di seksi polisi amat menderita hidupnya. Tak ada yang mau peduli dengan keluhan-keluhannya, dan setelah mati, daftarnya hanya dicoret begitu saja.

Masalah Kemanusiaan

Secara menyeluruh bagian ketiga berisi tentang korban-korban elit poltik pasca-G30SPKI. Hampir di setiap tulisan-tulisan Soe Hok Gie di bagian ketiga membuat perasaan saya bercampur aduk antara sedih dan marah. Bagian ketiga diawali dengan tulisan yang berjudul "Di Sekitar Peristiwa Pembunuhan Besar-Besaran di Pulau Bali". Di Bali sama sekali tidak adalah ada perlawanan. Mereka yang merasa dirinya PKI atau yang oleh lingkungannya dituduh demikian, dengan sukarela menyerahkan diri kepada penguasa. Dan Ketika pembuhunan-pembunuhan itu berlangsung, banyak sekali dari mereka yang menjadi tawanan minta untuk dibunuh karena tahu, bagaimana pun juga akhir hidup mereka sudah dapat dihitung dengan jari.

Setelah tiga bulan, Bali yang indah berubah menjadi nereka penyembelihan. Pembunuhan itu telah memakan korban jiwa sekurang-kurangnya depalan puluh ribu jiwa. Pemerkosaan terhadap mereka yang dituduh Gerwani. Dan membuat saya merasa miris adalah pemimpin-pemimpin yang dahulu paling nasakom kemudian berubah menjadi pembenci PKI yang paling gigih dan paling demonstratif.

Bagian ketiga memang sangat menyedihkan. Dari Kematian Sjahrir dan Prof. Dr. Soekirno yang mati berlabel tawanan karena bertahun-tahun tidak diadili, sampai muncul syarat baru bagi mereka yang ingin bekerja: Tidak terlibat G30SPKI. Juga untuk mereka yang ingin kawin.

Seorang buruh yang bekerja pada sebuah pabrik, jika tidak masuk SOBSI akan ditekan (kalau grup SOBSInya kuat). Banyak petani-petani yang buta huruf, tanpa sadar arti marxisme, telah didaftar menjadi anggota BTI. Kadang mereka masuk, karena dijanjikan tanah. Setelah bulan oktober 1965, mereka dinyatakan terlibat G30SPKI kemudian dikucilkan dari hidup. Secara teoritis, mereka tidak boleh kerja, tidak boleh kawin, dll. Kalau mereka ingin mendapatkan kesempatan hidup dalam masyarakat, mereka harus menipu atau menyogok untuk mendapatkan keterangan tidak terlibat G30SPKI.

Catatan Turis Terpelajar

Bagian ini adalah catatan perjalanan Soe Hok Gie selama di Amerika. Ada tiga tulisan yang menarik perhatian. "Masalah Identitas Negro di Amerika", "Agama dalam Tantangan", "Hippies, Peace and Love".

Dalam tulisan "Masalah Idenditas Negro di Amerika" Soe Hok Gie yang membenci segala keserakahan Soekarno sadar betapa berharganya warisan kebudayaan kita. Soekarno turut memberikan sesuatu pada bangsa kita---identitas diri suatu bangsa.

Telah lama ditanamkan dalam masyarakat AS bahwa black is bad dan orang-orang Negro merasa malu bahwa mereka berkulit hitam. Orang-orang Puerto Rico tak mengalami hal itu karena mereka diperlakukan buruk---mereka dapat Kembali ke Puerto Rico---demikian pula Mexico. Tetapi Afro-American ini tak punya 'tanah air'. Mereka tak mungkin kembali ke Afrika---mereka telah kehilangan 'touch' dengan Afrika.

Lalu pada tulisan "Agama dalam Tantangan" Ketika Jacqueline Kennedy menikah dengan Onasiss, yang telah bercerai dengan istrinya. Menurut peraturan gereja Katolik, peceraian dilarang. Onasiss, seorang kakek tua, menceraikan istrinya, dan kemudian menikah dengan janda Presiden Kennedy yang beragama Katolik. Apalah gereja berani mengambil tindakan ini terhadap tokoh Katolik, yang secara sadar melanggar---kalau yang terlanggar seorang petani bukan soal---dan kemudian dibela oleh Kardinal dari Boston, teman pribadinya.

Dalam tulisan "Hippies, Peace and Love" saya sadar nilai-nilai masyarakat yang mengikat kita itu punya nilai-nilai lain. Di California Soe Hok Gie berteman dengan seorang seperempat Hippies dan mempunyai teman-teman Hippies. Banyak di antara pemuda-pemuda AS di kota-kota besar menolak pola-pola cinta a la masyarakat tradisional. "Kita menolak hubungan muda-mudi cara ini. Kita ingin cinta yang spontan seperti apa adanya." Ia menganggap sebagai sesuatu hal yang wajar hubungan seks bebas.

Mariyuana, yoga, free love, pakaian aneh akhirnya tidak membawa mereka kekebahagiaan. Waktu di San Fransisco, Soe Hok Gi ke Sausalito---tempat Hippies---sebagai turis. Keluar masuk took-toko yang menjual barang-barang Hippies bersama orang-orang lain yang juga berpiknik. Mereka akhirnya menjadi objek uang oleh kapitalis-kapitalis. Mereka bicara tentang perdamaian dan cinta dan menjadi mode. Mereka yang berontak dari masyarakat akhirnya menjadi objek masyarakat yang mencari uang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun