Mohon tunggu...
Muhammad Ridwan
Muhammad Ridwan Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis adalah mencecap kesendirian...terjun ke ruang batin yang paling dalam... (Franz Kafka)

Bukan siapa siapa.... Hanya orang biasa.. Institute of political and social study (IPOLSS)

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Lajana Akhirnya Sekolah di Kota

8 Mei 2024   01:24 Diperbarui: 8 Mei 2024   01:35 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerbung. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Yuri B

Tiga hari sebelum Lajana berangkat ke kota. Orang tuanya tak berhenti berpesan. "Nanti kalau kau sudah di kota, hati-hati dengan orang yang berambut gondrong"  Kata bapaknya. Sementara dari arah dapur, Ibunya  juga menyeletuk "Hati-hati juga kalau menyebarang di jalan, kata Pak Kades, ada banyak kendaraan di sana, tidak kayak disini, hanya tai sapi dan tai kerbau yang banyak"
 
Ibu dan Bapaknya juga tak berhenti mengingatkan kepada Lajana untuk tak lupa mengirim surat setiap bulan jika Ia sudah sekolah di kota. Lajana kebingungan, Ia sangat tahu kalau kedua orang tuanya itu buta huruf.  

"Paling-paling surat itu nanti akan di bawa ke Pak. Kades untuk di bacakannya," Katanya di kepala.

Tapi bagaimanapun, Lajana tetap bangga dengan mereka berdua. Kecekatannya berkerja di sawah membuatnya  dapat mengenyam pendidikan dari SD hingga tamat SMP. Meski beberapa sawah itu, hanyalah sawah garapan milik Pak.Kades dan beberapa orang yang berkelebihan di kampung itu.

Pernah satu waktu, bapaknya berkata kepadanya. Hari itu Lajana masih di bangku kelas dua SMP.
"Kalau kau tamat nanti, kau harus lanjutkan sekolahmu di Makassar"

Lajana mengelaknya waktu itu, karena ia tahu, sekolah di kota itu butuh biaya besar, tapi bapaknya keras kepala, dan hampir saja ia memukulnya karena kesannya tak berniat menurutinya.

"Kau mau seperti bapak, yang sampai tua bisanya hanya jadi babu orang? apa kau mau jadi penggembala?  setiap hari hanya melihat pantat sapi. Selama betisku masih kuat, kau tak perlu takut masalah biayanya. Apapun itu kau harus tetap sekolah"  Bentaknya dengan mata sedikit melotot, dan tangannya ia goyang-goyangkan, membuat api rokok tembakau gulungnya jatuh di lantai papan. Mau tidak mau Lajana menganggukkan kepalanya pelan, meski ada sedikit sangsi di dalam hatinya, mengingat kondisi ekonomi keluarganya sangatlah tidak meyakinkan.

Namun apa yang di ucapkan bapaknya teruji oleh  waktu. Akhirnya Lajana mampu menamatkan sekolahnya di SMP. Dan setiap Muda-mudi yang ingin melanjutkan pendidikannya ke jenjang SMA, maka mau tak mau mereka harus melanjutkannya di Makassar, mengingat tak ada satu pun SMA atau setingkatnya di kampung ini, bahkan di seantero kecamatan.

Pada sore hari, itu setelah beberapa hari Lajana sudah mengantongi surat kelulusannya. Salah seorang teman baiknya datang berkunjung ke rumahnya. Namanya Awaluddin, di panggilnya Udin. Waktu itu Lajana sedang melamun. Ia duduk di kursi bambu dekat jendela. Matanya selalu memandang keluar lewat sela jendela, seolah mengamati matahari perlahan tenggelam di balik rimbunan pohon ketapang di samping rumahnya. Sementara dari arah tangga, suara kaki Udin berderap perlahan, naik satu persatu mengikuti jenjang lapisan kayu nangka itu. Udin membuka pintu itu, dan mendapati karibnya yang tampak terdiam dalam tatapan mata yang kosong.

Udin adalah teman senasib seperjuangan Lajana. Mereka memulai pertemanannya waktu mereka sama-sama masuk di SD hingga tamat SMP, dan mereka berdua tak pernah terpisah bangku.

Namun Udin tidaklah semiskin keluarga Lajana. Ia berasal dari keluarga yang mapan. Kedua orangtuanya adalah guru pegawai negeri di SD tempat Lajana dan Udin mengenyam pendidikan. Udin termasuk salah satu siswa yang pintar di sekolah, saking pintarnya terkadang ia memanfaatkan keluguan dan kepolosan karibnya, Lajana.
 
"Kau mau ikut aku pergi mendaftar  di Makassar besok?" Kata Udin sesaat setelah ia memasuki rumah.

Lajana tidak menjawab apa-apa, hanya tangannya yang tak berhenti mengelusi keningnya.

"Kita akan di antar oleh bapakku besok. Kalau kau mau" Kata Udin sekali lagi. "bagaimana Lajana?" Lanjutnya, penuh desakan.

Udin memandang utuh tubuh Lajana yang hanya menekur di kursi bambu itu. Tatapannya sangat serius, seperti ingin menerka-nerka jawaban apa yang ada di dalam kepala Lajana.

"Mungkin aku tak bisa melanjutkan sekolahku din" kata Lajana akhirnya, dengan raut wajah yang keluh seperti telah kehilangan asa.

Tiba-tiba bapaknya keluar dari kamarnya, di tangannya menenteng sebuah buntelan kecil. Di depan Lajana dan Udin, Ia membuka buntelan kecil itu, dan tak disangka isinya beberapa lembar uang kertas yang sudah tampak usang. Sebagian uang itu sudah berlubang di pinggirnya.

"Kau masih belum percaya Lajana?" Ujar Bapaknya sembari mengarahkan mata Lajana dengan telunjuknya  ke uang itu. "Inilah hasil jerih payahku bekerja di sawah setiap hari. Kusimpan bertahun-tahun untuk biaya sekolahmu" Katanya dengan nada yang tegas namun sedikit mengharukan. "Jangan buat aku marah. Besok kau harus ikut dengan Udin mendaftar di Makassar" tutupnya. Akhirnya Lajana mengikuti kemauan bapaknya, dan esoknya Ia bersama Udin berangkat ke kota untuk mendaftar di salah satu Madrasah Aliyah di Makassar.

Beberapa bulan kemudian. Surat pengumuman kelulusannya telah sampai di tangan mereka masing-masing. Dan lagi-lagi, mereka mengambil jurusan yang sama dan kelas yang sama. *****

Tibalah waktu yang di tunggu-tunggu Lajana bersama Udin.

Pagi masih buta. Lajana sudah bersiap-siap berangkat ke kota. Ia sudah mengenakan kemeja putihnya yang lusuh, berpadu dengan celana kain berwarna cokelat yang penuh dengan beberapa lubang kecil bekas percikan api rokok. Ya, celana itu milik bapaknya yang sudah mulai menyempit. Rambutnya yang berombak sudah tersisir rapat ke samping. Koper tua yang penuh dengan tumpukan baju dan setengah karung beras sudah berdiri di pinggir pintu. Lima rumah setelah rumah Lajana, tampak Udin pun juga bersiap-siap. Kaus bergaris warna biru hitam juga sudah membalut di tubuhnya, bersama dengan  celana jeans yang longgar di bagian bawahnya dan sepatu kets bertali sudah membenamkan sepasang kakinya. Di kursi ruang tamu, tampak bapak Udin juga sudah rapi. Ia akan mengantar Udin dan Lajana menuju Makassar.

Tepat di jam tujuh pagi. Mobil pete-pete yang akan membawa mereka ke kota, sudah berhenti di depan rumah Lajana. Udin bersama bapaknya sudah ada di atas pete-pete itu bersama beberapa penumpang lainnya.

"Cepat Lajana!!" Teriak Udin dari  atas mobil.

Kini Lajana sudah berpamitan dengan kedua orang tuanya dan juga beberapa keluarganya. Sebutir air mata menetes di bawah kelopak mata Ibunya. Salah seorang dari keluarga Lajana, membopong kopernya dan setengah Karung beras itu naik ke mobil.

Saat Lajana mulai beranjak turun ke tangga rumahnya, Langkahnya tiba-tiba tercegat oleh seruan  dari bapaknya  "Ingat Lajana, hati-hati dengan orang yang rambutnya gondrong" Pesan itu kembali di ulanginya.

"Memangnya kenapa bapak?" Tanya Lajana, heran.

"Makanya sering-sering nonton televisi di rumahnya Pak Kades" bentak ba

"Televisi Pak Kades kenapa?"

"Aduh kau ini. Tidak kau lihat itu di televisi. Rata-rata yang berambut gondrong itu, kalau bukan pencopek ya perampok " ujar Bapaknya sekali lagi.

Lajana bengong mendengar ucapan bapaknya, dan perlahan kepalanya mulai mengangguk pelan, seperti membenarkan ucapan dari bapaknya itu. Maklumlah. Seumur-umur Lajana belum pernah menginjakkan kakinya ke kota, tentu berbeda dengan Udin, yang hampir setiap libur semester, ia di ajak orang tuanya jalan-jalan ke kota.

"Ayo cepat Lajana!!" Teriak Udin kembali.

Akhirnya dengan kepala yang bingung, Lajana menuruni tangganya. Ia melambaikan tangan kepada kedua orang tuanya, juga kepada beberapa keluarganya.

Sejam setelah mobil pete-pete itu melaju, melewati jalanan yang menanjak dan menurun serta penuh dengan kelokan. Tiba-tiba Lajana merasakan pening di kepalanya, Ia juga merasakan dalam perutnya sudah ada suara seperti giring-giring. Lajana mual. Udin menatap nanar karibnya yang sudah mulai gusar.  Mobil melaju semakin kencang. Lajana mencoba menahan muntahannya sebisa mungkin, tapi akhirnya, ia tidak bisa lagi. Dengan tiba-tiba, muntahannya keluar dengan kuat. Makanan yang tadi ada di perutnya tercecer di atas lantai mobil pete-pete itu. Warnanya kecokelatan dan terlihat tidak enak dipandang.  Bau muntahan memenuhi udara di dalam mobil, semua penumpang di atas mobil merasa jijik melihatnya, bahkan ada juga yang ikut muntah di buatnya. Lajana merasa sangat malu dengan hal itu. Pak. Supir akhirnya meminggirkan mobilnya, dan menyuruh Lajana turun untuk melanjutkan muntahnya jika masih mau. Setelah itu Lajana membersihkan muntahannya itu di lantai mobil.

"Kau makan apa tadi?" tanya Udin sesaat setelah Lajana sudah mulai merasa nyaman.

Lajana tidak berkata apa-apa. Ia masih sangat malu, dan tubuhnya lemas. Akhirnya ia  memejamkan matanya, menyandarkan kepalanya di kaca jendela mobil itu. ***

Sampai di kota. Lajana dan Udin tinggal sekamar di salah satu kost. Dan ia akan berpatungan untuk membayar sewa kamarnya setiap bulannya.

Di hari pertama masuk sekolah. Mereka berdua di antar oleh bapaknya Udin. Mengingat Udin apalagi Lajana belum mengetahui rute Pete-pete ke sekolahnya.
Esoknya, Bapak Udin kembali ke kampung.

Tapi sebelum ia berangkat. Bapak Udin mengontrak Daeng becak, Ia memintanya untuk mengantar Udin dan Lajana setiap hari, sampai mereka berdua sudah paham betul jalur-jalur di dalam kota.

   

   
   

   

   

 
   

   

     

   
   

     

   
   

   

   

   
     
   

   

   

   
   
   

   

   

   

   

   

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun