Saat Lajana mulai beranjak turun ke tangga rumahnya, Langkahnya tiba-tiba tercegat oleh seruan  dari bapaknya  "Ingat Lajana, hati-hati dengan orang yang rambutnya gondrong" Pesan itu kembali di ulanginya.
"Memangnya kenapa bapak?" Tanya Lajana, heran.
"Makanya sering-sering nonton televisi di rumahnya Pak Kades" bentak ba
"Televisi Pak Kades kenapa?"
"Aduh kau ini. Tidak kau lihat itu di televisi. Rata-rata yang berambut gondrong itu, kalau bukan pencopek ya perampok " ujar Bapaknya sekali lagi.
Lajana bengong mendengar ucapan bapaknya, dan perlahan kepalanya mulai mengangguk pelan, seperti membenarkan ucapan dari bapaknya itu. Maklumlah. Seumur-umur Lajana belum pernah menginjakkan kakinya ke kota, tentu berbeda dengan Udin, yang hampir setiap libur semester, ia di ajak orang tuanya jalan-jalan ke kota.
"Ayo cepat Lajana!!" Teriak Udin kembali.
Akhirnya dengan kepala yang bingung, Lajana menuruni tangganya. Ia melambaikan tangan kepada kedua orang tuanya, juga kepada beberapa keluarganya.
Sejam setelah mobil pete-pete itu melaju, melewati jalanan yang menanjak dan menurun serta penuh dengan kelokan. Tiba-tiba Lajana merasakan pening di kepalanya, Ia juga merasakan dalam perutnya sudah ada suara seperti giring-giring. Lajana mual. Udin menatap nanar karibnya yang sudah mulai gusar. Â Mobil melaju semakin kencang. Lajana mencoba menahan muntahannya sebisa mungkin, tapi akhirnya, ia tidak bisa lagi. Dengan tiba-tiba, muntahannya keluar dengan kuat. Makanan yang tadi ada di perutnya tercecer di atas lantai mobil pete-pete itu. Warnanya kecokelatan dan terlihat tidak enak dipandang. Â Bau muntahan memenuhi udara di dalam mobil, semua penumpang di atas mobil merasa jijik melihatnya, bahkan ada juga yang ikut muntah di buatnya. Lajana merasa sangat malu dengan hal itu. Pak. Supir akhirnya meminggirkan mobilnya, dan menyuruh Lajana turun untuk melanjutkan muntahnya jika masih mau. Setelah itu Lajana membersihkan muntahannya itu di lantai mobil.
"Kau makan apa tadi?" tanya Udin sesaat setelah Lajana sudah mulai merasa nyaman.
Lajana tidak berkata apa-apa. Ia masih sangat malu, dan tubuhnya lemas. Akhirnya ia  memejamkan matanya, menyandarkan kepalanya di kaca jendela mobil itu. ***