"Kita akan di antar oleh bapakku besok. Kalau kau mau" Kata Udin sekali lagi. "bagaimana Lajana?" Lanjutnya, penuh desakan.
Udin memandang utuh tubuh Lajana yang hanya menekur di kursi bambu itu. Tatapannya sangat serius, seperti ingin menerka-nerka jawaban apa yang ada di dalam kepala Lajana.
"Mungkin aku tak bisa melanjutkan sekolahku din" kata Lajana akhirnya, dengan raut wajah yang keluh seperti telah kehilangan asa.
Tiba-tiba bapaknya keluar dari kamarnya, di tangannya menenteng sebuah buntelan kecil. Di depan Lajana dan Udin, Ia membuka buntelan kecil itu, dan tak disangka isinya beberapa lembar uang kertas yang sudah tampak usang. Sebagian uang itu sudah berlubang di pinggirnya.
"Kau masih belum percaya Lajana?" Ujar Bapaknya sembari mengarahkan mata Lajana dengan telunjuknya  ke uang itu. "Inilah hasil jerih payahku bekerja di sawah setiap hari. Kusimpan bertahun-tahun untuk biaya sekolahmu" Katanya dengan nada yang tegas namun sedikit mengharukan. "Jangan buat aku marah. Besok kau harus ikut dengan Udin mendaftar di Makassar" tutupnya. Akhirnya Lajana mengikuti kemauan bapaknya, dan esoknya Ia bersama Udin berangkat ke kota untuk mendaftar di salah satu Madrasah Aliyah di Makassar.
Beberapa bulan kemudian. Surat pengumuman kelulusannya telah sampai di tangan mereka masing-masing. Dan lagi-lagi, mereka mengambil jurusan yang sama dan kelas yang sama. *****
Tibalah waktu yang di tunggu-tunggu Lajana bersama Udin.
Pagi masih buta. Lajana sudah bersiap-siap berangkat ke kota. Ia sudah mengenakan kemeja putihnya yang lusuh, berpadu dengan celana kain berwarna cokelat yang penuh dengan beberapa lubang kecil bekas percikan api rokok. Ya, celana itu milik bapaknya yang sudah mulai menyempit. Rambutnya yang berombak sudah tersisir rapat ke samping. Koper tua yang penuh dengan tumpukan baju dan setengah karung beras sudah berdiri di pinggir pintu. Lima rumah setelah rumah Lajana, tampak Udin pun juga bersiap-siap. Kaus bergaris warna biru hitam juga sudah membalut di tubuhnya, bersama dengan  celana jeans yang longgar di bagian bawahnya dan sepatu kets bertali sudah membenamkan sepasang kakinya. Di kursi ruang tamu, tampak bapak Udin juga sudah rapi. Ia akan mengantar Udin dan Lajana menuju Makassar.
Tepat di jam tujuh pagi. Mobil pete-pete yang akan membawa mereka ke kota, sudah berhenti di depan rumah Lajana. Udin bersama bapaknya sudah ada di atas pete-pete itu bersama beberapa penumpang lainnya.
"Cepat Lajana!!" Teriak Udin dari  atas mobil.
Kini Lajana sudah berpamitan dengan kedua orang tuanya dan juga beberapa keluarganya. Sebutir air mata menetes di bawah kelopak mata Ibunya. Salah seorang dari keluarga Lajana, membopong kopernya dan setengah Karung beras itu naik ke mobil.