Ungkapan viral itu seakan membangun kesadaran kita untuk berfikir kritis. Siapapun tergugah untuk mencari tahu bagaimana kekuatan global memengaruhi kebijakan dunia. Tak jarang, hal itu berbenturan dengan kebijakan yang bersifat politis.
Kita juga pernah dihebohkan oleh teori konspirasi Tsunami Aceh pada 2004. Seorang mantan anggota militer Amerika Serikat, yang kini tinggal di Aceh, mengatakan bahwa gelombang besar tersebut berasal dari ledakan nuklir. Hal ini dibuktikan dengan kondisi korban tsunami yang sebagian besar menghitam seperti gosong begitu juga bangunan yang hancur rata seperti habis diledakkan.
Menurutnya, tes ledakan nuklir di laut Samudera Hindia itu dilakukan Amerika Serikat untuk menghancurkan negara yang dianggap mendukung Irak dalam Perang Irak. Komentar itu dibantah banyak pihak karena tidak adanya bukti berupa bekas ledakan nuklir. Namun, ada beberapa pihak yang terlanjur percaya.
Inilah yang memunculkan keyakinan bahwa ada pihak yang bisa membuat bencana buatan maupun merekayasa peristiwa. Begitu juga dengan Perang Dunia 1 dan 2, Tewasnya Lady Diana, Kerusuhan Mei 1998, hingga Meninggalnya Munir. Dibutuhkan bukti yang membenarkan bahwa ada pihak yang menciptakan bencana seperti perang dan bencana alam.
Teori konspirasi juga jarang diangkat dalam kajian akademik di kampus. Padahal universitas mengarahkan mahasiswa untuk kritis dan independen sehingga mestinya mampu membahas keabsahan teori konspirasi. Namun, kajian semacam itu hanya bisa dilakukan di luar dengan mengadakan diskusi maupun bincang-bincang santai.
Gambaran tentang  pengendalian kelompok terselubung dapat kita lihat dalam drama Korea, King 2 Hearts (2012). Drama yang diperankan Lee Seung-gi (Lee Jae-Ha) dan Ha Ji Won (Kim Hang-Ah) dapat menjadi gambaran bagaimana sisa Kerajaan Joseon di Korea Modern digoncang oleh kelompok kecil namun berpengaruh yaitu Club M. Bagaimana seorang anak dari keluarga kerajaan yang beroposisi, yaitu John Mayer (Kim Bong Gu alias Yoon Je-Moon) mengadakan konspirasi untuk menjatuhkan sisa keluarga kerajaan Joseon agar dapat mengambil alih kekuasaan.
Meskipun kisah keluarga kerajaan tersebut fiktif, namun kita dapat mengambil gambaran bagaimana permainan politik dijalankan. Ada suatu konspirasi yang dijalankan oleh kelompok kecil untuk mengacaukan suatu negara demi kepentingan pribadi. Tentu saja yang dikejar adalah uang dan kekuasaan.Â
Kelompok tersebut menggunakan berbagai sarana untuk mengokohkan ambisinya. Mulai dari politisi pendukungnya, pengusaha, hingga media. Untuk mencegah ambisinya gagal, mereka membutuhkan 'lembaga sensor'.
Apalagi, lembaga telekomunikasi sudah mulai sadar pentingnya teori konspirasi dengan pelabelan hoaks maupun faktual. Meskipun hanya sekedar opini, pemaparan sebuah fakta yang dianggap berseberangan dengan pemerintah harus dihapus dengan label hoaks. Jika melanggar, akan mendapat sanksi penjara.
Padahal, di negara belahan Barat, banyak kaum intelektual yang memaparkan konspirasi dari suatu peristiwa. Hal itu didorong oleh paham kebebasan berpendapat. Meskipun begitu, mereka tetap menggunakan standar ganda yang berbahaya bagi siapa saja yang kritis.
Namun, pemerintah tidak akan bergerak banyak jika sebagian besar orang memercayai teori tersebut. Teori itu mampu memberikan kekuatan berupa paradigma baru yang dulu dianggap aneh bahkan cenderung berbahaya. Hal itu dikarenakan teori itu bisa menjadi alternatif perubahan sistem baru.