Kota itu terlihat mati karena tidak ada satupun warganya yang beraktivitas. Jika ada yang kedapatan keluar rumah, mereka bisa dikenakan denda.
Ia baru saja mendapat berita dari pemerintah setempat bahwa kota itu sudah dikosongkan. Pemberitahuan itu dikeluarkan sejak 3 minggu lalu. Kemudian, menyusul pemberitaan yang sama dari pihak kampus.
Wika merupakan mahasiswa pertukaran pelajar yang sedang menempuh studi selama 3 bulan. Sudah 2 bulan terakhir ia tinggal dan kini harus menunggu pemberitahuan pihak kampus. Walaupun kampusnya ditutup, ia masih bisa mengikuti perkuliahan daring dari pihak kampus.
Sehari setelah pemberitahuan, disusul oleh seluruh kota di negara ia tempati hingga batas waktu yang tidak ditentukan. Hal itu membuat Wika gelisah sehingga mengharuskan ia menelepon pihak penyelenggara beasiswa. Namun, jawaban yang diterima adalah imbauan agar bersabar menunggu pemberitahuan resmi dari kampus dan pemerintah.
Wika merupakan penerima beasiswa pertukaran bersama dua temannya yaitu Nendi dan Armando. Mereka merupakan mahasiswa jurusan Desain Industri dari kampus prestisius di Bandung. Ketiganya akan berkuliah di sebuah universitas prestisius di Jurusan Desain Otomotif.
Wika hanya bisa berdiam diri di sebuah kasur empuk dalam apartemen minimalis. Ia tinggal di lantai 10 bersama ketiga temannya namun beda kamar. Apartemen mereka terletak di sebuah areal kampus.
Kamarnya terdiri dari satu ruang rak sepatu dengan lantai batu alam dan dipisah oleh lantai kayu yang menuju ruang utama. Setelah ruang rak, ada ruang dapur mirip bar serta ruang tamu dengan televisi 18 inci di depannya. Setelah itu, ada sebuah kamar tidur di sampingnya dan kamar mandi yang dekat dengan pintu masuk.
Wika terpaku di sebuah sofa empuk ruang tamu. Ia menonton sebuah berita tentang kondisi negara yang tidak terkena virus Hyza. Seorang narator juga memberitakan tentang negaranya yaitu Indonesia.
Matanya terpaku tajam menatap layar 18 inci itu. Mengingat negeri itu, rasa kangen mulai menelusup hatinya. Ingin secepatnya bisa pulang ke negeri yang melahirkan dan membesarkannya.
Penutupan itu didasarkan atas berita tentang banyaknya orang yang terjangkit yang jumlahnya bisa mencapai ribuan orang. Akibatnya, akses ruang publik dibatasi sehingga setiap orang harus menjaga jarak bahkan tidak boleh ada yang keluar.
Kekuwatiran itu juga berangkat dari bertambahnya jumlah pasien yang positif virus tersebut. Hal itu membuat pemerintah mengambil keputusan dengan menutup akses kota seluruhnya. Akibatnya, aktivitas lumpuh termasuk kampusnya.
Wika hanya bisa menonton televisi dan melakukan komunikasi dengan temannya via streaming. Ia juga berkomunikasi dengan keluarganya di Sleman. Saat ditanya kabarnya, mereka selalu sehat dan tidak ada gejala sakit apapun. Bahkan, negaranya waktu itu dinyatakan aman dari virus berbahaya.
Sebuah chat muncul di twitter. Wika langsung membalas pesan dari Nendi.
“Kota lagi mati hari ini?”
“Benar Ndi, katanya ada ratusan orang meninggal dan sekarang penyebaran virus Hyza semakin masif.”
“Iya. Bahkan, hampir tiap hari jumlah pasien terus bertambah Kita doakan saja semoga negara kita aman terus.”
“Amin. Kita tidak bisa pulang hari ini. Dua bulan kemarin kita lewati masa kuliah dan mestinya ini adalah bulan terakhir.”
“Benar. Tapi, kita tidak tahu kapan berakhirnya penutupan ini. Semoga saja sisa sebulan ini virusnya sudah berhasil diusir seiring masa berakhirnya kuliah.”
“Iya. Pakai disinfektan untuk seluruh kota. Kalau perlu pakai pemadam kebakaran sekalian.”
“Hahaha…. benar. Kalau perlu, aparnya disinfektan semua.”
“Solusi kreatif. Oh ya, nanti malam ada konser.”
“Hah? Mana ada konser di tengah karantina nasional gini.”
“Iya, ini kan negara seni yang membebaskan warganya berkreasi. Ya tentunya, konser pun tetap jalan dong.”
“Iya kan kalau penyanyinya habis konser tahu-tahu demam tinggi kan tidak lucu, beda cerita jadinya.”
“Iya enggak dibuat panggung besar juga. Kan panggungnya di sekitaran apartemen ini.”
“Apa iya?”
“Iya dong. Nanti ada teman mahasiswa kita unjuk kebolehan di balkon. Ada Live Music, DJ Music, ada musik biola, pembacaan puisi, dan permainan gitar.”
“Oh, jadi tribunnya balkon-balkon ya?”
“Yap, kreatif kan?”
“Ini sih seni di tengah pandemi virus. Lumayan buat hiburan.”
“Belum pernah lho ada di Indonesia begini.”
“Viralin!”
“Siap bosque.”
Wika terus mengetik pesan tentang kondisi negara mereka. Tiba-tiba, muncul sebuah Skype dari Armando. Percakapan langsung dialihkan.
“Ndi, aku mau cakap dengan Arman via Skype. Gabung yuk.”
“Wah iya lah. Yuk.”
Berlangsunglah percapakan via video call tersebut. Terpampang 2 wajah yang ingin bercakap melepas rindu. Mereka membahas kondisi negeri yang katanya aman tersebut.
“Kapan ya ada pemulangan kayak teman-teman kita di negara lain?” Tanya Armando.
“Enak ya Man di sana. Aman negaranya seperti jargon negeri kita ‘Gemah ripah loh jinawi.’ Selalu indah dan tentram termasuk dari pandemi virus.” Ujar Wika.
“Betul, bahkan sampai sekarang belum ada kabar bahwa ada warganya yang kena virus itu.” Balas Armando.
“Eh menurut fakta, sebenarnya virusnya tidak begitu parah lho efek mematikannya. Sebab, ada lebih banyak pasien yang sembuh daripada yang meninggal. Yang selamat hampir 80 ribuan sedangkan yang meninggal 8 ribuan. Jadi perbandingannya 10 banding 1 gitu.” Ucap Nendi menganalisis.
Ruangan itu terdengar suara televisi dan percakapan Wika yang membaur jadi satu. Mereka optimis bahwa negerinya aman dari virus itu. Meskipun begitu, mereka belum bisa dipulangkan sampai menunggu keputusan dari kampus dan juga pemerintah.
Kota mereka sudah masuk zona merah yaitu zona paling berbahaya dari pandemi virus Hyza. Upaya yang dilakukan yaitu selalu mencuci tangan setiap beraktivitas dan menjauhi kontak dengan orang lain. Semacam antisosial namun demi keselamatan.
Hingga berita itu diturunkan, belum ada wacana memulangkan warganya yang kotanya di karantina. Alasannya, pemerintah di negara Wika tinggal masih bisa menanggung segala kebutuhannya.
“See you, jangan lupa diviralin.” Kata Armando dan Nendi bersamaan setelah menutup percakapan via Skype.
“Selalu. Keep creative.” Jawab Wika.
Setelah percakapan itu, ia langsung berdiri meninggalkan televisi yang masih menyala. Wika memasuki kamar tidur dan menatap jendela. Ia menatap sebuah pulau yang jaraknya seperti sejengkal.
Ia masih bisa melihat ibunya yang sedang mencuci dan menjemur pakaian. Ada juga Mbok Siyem, pembantunya, yang membersihkan halaman rumah. Ia seperti melihat ibunya lebih dekat dengan kondisi badan yang prima. Saat ibunya ditatap, ia langsung tersenyum riang.
“Bu, kalau pemerintah ngasi lampu hijau, aku langsung pulang dan memeluk ibu segera. Kangen sudah lama tidak melihat wajah ibu. Nanti deh, aku belikan oleh-oleh buat ibu. Mau miniatur Colosseum, ada. Mau cokelat Italia, ada. Tinggal pilih.”
“Ibu cuma pengen kamu saja Nak. Ada kamu saja ibu sudah bahagia kok.”
“Semoga ibu sehat selalu.”
“Amin Nak. Bahagia juga buat kamu. Kapan pulangnya?”
“Akhir bulan ini Bu.”
Ucapan itu membayangi wajah ibu di mukanya. Ia sudah tidak sabar ingin benar-benar bisa pulang dan memeluk ibunya. Kini, pulau itu kembali berlabuh ke tempatnya semula.
Ia selalu mengirim pesan ke ibunya untuk memastikan kondisi kesehatannya juga keluarga. Sudah beberapa pesan dikirim hingga tanpa sadar ia mendapati jumlah pulsanya mulai berkurang. Ia harus berhemat karena biaya pulsa di negara ini mahal.
Malam kini menyemarakkan suasana kota. Titik-titik lampu memperindah suasana malam yang teduh. Beberapa penghuni balkon mulai menyiapkan alat-alat. Mulai dari DJ set, kursi biola, bahkan ada yang mendekorasi balkonnya jadi seperti taman kecil.
Wika takjub dengan kreativitas seni warga tersebut. Ia iri dengan negaranya yang semestinya bisa lebih kreatif dalam membuat karya seni. Di negara ini, hal kecil bisa dibuat menjadi karya seni oleh warganya yang menghargai keindahan.
Malam mulai bergemuruh. Musik DJ menyemaraki suasana kota. Sudah ada Armando dan Nendi di sebelah balkonnya. Apartemen ketiga orang itu letaknya bersebelahan sehingga bisa saling mengobrol. Tampak tawa canda diselingi suara musik DJ yang merobek malam.
Suara dering android di saku baju Wika bergetar. Pria itu langsung mengangkat telepon genggamnya. Ia dapat telepon dari pamannya.
“Iya, ada apa paman?”
“Ibu kamu lagi gawat.” Terdengar nada suara panik dari pamannya. Ada samar-samar suara ambulans.
“Gawat gimana maksudnya paman?”
“Ibu lagi dirawat di ICU. Kata dokter, ibu sudah sulit bernafas sehingga harus dibawa ke ruang isolasi.” Jawab paman Wika dengan nafas terburu.
Badan Wika seketika lemas. Telepon genggamnya jatuh dan tangannya terhuyung ke lantai. Tidak lama, ia limbung. Badannya terjatuh ke lantai balkon.
Armando dan Nendi panik melihat Wika yang sudah pingsan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H