“See you, jangan lupa diviralin.” Kata Armando dan Nendi bersamaan setelah menutup percakapan via Skype.
“Selalu. Keep creative.” Jawab Wika.
Setelah percakapan itu, ia langsung berdiri meninggalkan televisi yang masih menyala. Wika memasuki kamar tidur dan menatap jendela. Ia menatap sebuah pulau yang jaraknya seperti sejengkal.
Ia masih bisa melihat ibunya yang sedang mencuci dan menjemur pakaian. Ada juga Mbok Siyem, pembantunya, yang membersihkan halaman rumah. Ia seperti melihat ibunya lebih dekat dengan kondisi badan yang prima. Saat ibunya ditatap, ia langsung tersenyum riang.
“Bu, kalau pemerintah ngasi lampu hijau, aku langsung pulang dan memeluk ibu segera. Kangen sudah lama tidak melihat wajah ibu. Nanti deh, aku belikan oleh-oleh buat ibu. Mau miniatur Colosseum, ada. Mau cokelat Italia, ada. Tinggal pilih.”
“Ibu cuma pengen kamu saja Nak. Ada kamu saja ibu sudah bahagia kok.”
“Semoga ibu sehat selalu.”
“Amin Nak. Bahagia juga buat kamu. Kapan pulangnya?”
“Akhir bulan ini Bu.”
Ucapan itu membayangi wajah ibu di mukanya. Ia sudah tidak sabar ingin benar-benar bisa pulang dan memeluk ibunya. Kini, pulau itu kembali berlabuh ke tempatnya semula.
Ia selalu mengirim pesan ke ibunya untuk memastikan kondisi kesehatannya juga keluarga. Sudah beberapa pesan dikirim hingga tanpa sadar ia mendapati jumlah pulsanya mulai berkurang. Ia harus berhemat karena biaya pulsa di negara ini mahal.