Mohon tunggu...
Muhammad Reza Santirta
Muhammad Reza Santirta Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis

Menulis adalah seni

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Nasihat tentang Marah

9 Februari 2020   00:17 Diperbarui: 9 Februari 2020   18:16 835
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi melihat amarah. (sumber: KOMPAS/DIDIE SW)

Seorang pria termenung sendirian sembari menatap jarinya yang ditekukkan. Bunyi krek itu terdengar nyaring hingga memecah keheningan. Mukanya masam mengingat apa yang barusan terjadi. 

"Jangan diambil hati. Teman-teman memang kayak gitu orangnya. Biasalah, mereka lebih asyik dengan dirinya sendiri." Ujar Medi menenangkan. 

Perasaannya berkecamuk antara kesal, malu, sekaligus bodoh. Mengapa temannya yang diajak ngobrol justru malah menghardiknya. Ia dibilang merusak suasana. 

Dudi merupakan siswa yang tidak pernah marah dengan siapapun. Bencipun tidak. Jika tidak suka, ia biasanya akan lari menjauh dari orang yang merendahkannya. Namun, semakin lari semakin dirinya tambah dibenci. Tetapi hal itu tidak disadarinya. 

Dudi terus merenungi dirinya. Mengapa aku sering dimarahi padahal aku tak pernah marah dengan siapapun.

"Aku tahu kamu kasihan dengan aku. Makanya aku ingin curhat supaya kamu tahu aku ini seperti apa."

Medi mendengarnya dengan antusias. "Aku salah apa sih sebenarnya? Padahal aku tidak pernah berbuat jahat kayak maling, mencuri, memukul, menghamili anak orang. 

Tapi, bencinya mereka sampai sedalam-dalam hati. Semoga kamu tahu." Dudi merasa dimarahi teman-temannya hanya karena candaannya. Ia tidak tahu mengapa bisa dibenci sedemikian rupa. Padahal tidak ada kata-kata yang menghina dan merendahkan mereka. 

Anak itu seperti dicuci otaknya dan diprogram oleh program alam semesta untuk membenci dirinya. Medi masih saja menatap dirinya dengan tatapan tajam. 

Matanya agak menyipit namun badannya berisi. Kulitnya putih dan jika memperhatikan orang selalu mencengkeram apa saja permukaan datar yang ditemui. Ia hanya bilang teruskan tanpa membalas apa yang disampaikan Dudi. Selebihnya hanya mengatakan sabar saja, teman-teman memang begitu orangnya. 

"Aku curiga deh, jangan-jangan kamu termasuk mereka yang membenciku ya. Kok, kamu cuma bilang biasa saja."

"Jangan baper Dudi. Kalau mau ngomong ya ngomong aja. Anggap aja aku tidak ada. Dan, memang selalu aku dianggap tidak ada."

"Aku tahu kamu itu teman baik aku. Makanya, aku paksa kamu untuk mau berbagi peduli dengan aku." 

Gadis itu mengambil botol teh susu rasa teh matcha yang barusan dibeli dari supermarket. Tutup itu ia buka dan mengenggaknya sebagian. 

"Ngomong aja. Kan tidak ada yang mendengar kecuali aku. Untuk apa memaksaku ke sini kalau yang mengajak cuma diam lama." Ucap Medi setengah memaksa.

"Aku cuma heran... kenapa aku yang selalu dibenci seakan ada yang nista dari diri aku. Keluarga tapol bukan, pembuat onar bukan, bukan juga siswa bermasalah, bukan juga pelaku perkelahian, mencuri enggak pernah. Memangnya senista apa sih aku ini." 

Gadis itu menuliskan sesuatu di Iphone-nya. Medi hanya mendengar saja sambil mengetik.

"Setiap mau berkumpul selalu saja ada marah. Mau ngomong juga ada marah. Bicara santai juga ujungnya marah. Orang sampai bilang kekuatanku hanya satu, yaitu marah. Tepatnya, bikin orang marah. Padahal yang pantas dimarahi 'kan harusnya penjahat atau pembuat onar. Aku baru tahu, orang pendiam itu ternyata merupakan makhluk yang dibenci ya sehingga harus dinista." 

Medi selesai mengetik di layar telepon pintarnya. Ia langsung menegakkan badannya. Matanya menatap lurus menghadap Dudi. Ia menatap dengan serius.

"Problemmu cuma satu Dudi. Kamu harus punya perhatian terhadap orang lain. Sikapmu itu saja sudah cukup memberi penilaian bagi orang lain. Apa yang kamu lakukan kepada mereka suatu saat akan dibalas sebagaimana perlakuan kamu." Kata Medi menghibur Dudi. 

"Aku anak baik-baik Med, enggak pernah marah dan benci." 

"Sebaik apa kamu sama mereka. Cobalah kamu bercermin. Seperti apa kalau kamu menatap dirimu sendiri. Kamu pastinya bisa menanggapi apa yang kamu lakukan. Selama ini kamu menilai dirimu seperti apa? Mereka marah sama kamu karena ada yang salah dengan dirimu. Kenapa kamu diam saja dengan orang lain? Padahal 'kan teman-temanmu banyak." 

Dudi mendengar dengan takzim. 

"Satu lagi, kamu tidak pernah ngumpul. Cobalah kumpul sama anak-anak yang paling dekat dengan dirimu. Tidak perlulah yang populer, yang cantik, yang ganteng, ataupun yang kaya. Kalau yang jadi temanmu peduli sama kamu... tidak ada salahnya bersahabat. Ajak juga main ke rumahmu. Suguhi hidangan atau kasi permainan. Kesenangan mereka adalah harga yang diberikan karena kepedulianmu." 

Dudi mengangguk. 

"Jadi intinya satu, kamu harus punya empati." Ucap Medi menunjuk dada Dudi. "Selain itu juga, jangan mudah terpengaruh orang lain sehingga kamu membandingkan dirimu dengan mereka. Sekayanya mereka pasti juga karena minjam punya orang tua. Padahal aslinya miskin." 

Dudi mengetuk jarinya lagi. Bunyi nyaring terdengar jelas. 

"Ada juga yang populer dan punya banyak teman. Padahal, dia itu aslinya cari perhatian saja. Tapi lama-lama juga sengsara. Ya.... karena harus memenuhi permintaan mereka." 

Dudi mulai tertarik dengan diskusi ini. Matanya berbinar dengan penjelasan gadis itu yang umurnya lebih muda 2 tahun dari dirinya. 

"Benci orang-orang terhadapmu itu sebenarnya karena prihatin. Apa bisa orang yang pasif dan kurang peka dengan dirinya bisa menjamin hidupnya sendiri. Mereka benci bukan karena dirimu secara fisik tapi perlakuanmu. Aku tidak mungkin mengguruimu. Tapi, kasihan saja melihatmu merana terus." 

"Aku senang ada yang mau peduli denganku. Aku sering tanyakan ini... kenapa aku dimarahi malah tidak ada yang jawab. Dijawab cuma disuruh sabar." 

"Itu karena kamu harus merenungi dirimu. Apa yang salah dengan dirimu dan apa saja kesalahan dan kekuranganmu semua harus diperbaiki. Memang, orang sering dikasih tahu kalau marah pasti karena perbuatan tercela seperti kejahatan.

"Padahal, lingkungan sosial itu sangat luas dan tidak bisa kalau baik itu hanya sekedar diam. Makanya juga, kita seringkali didoktrin oleh sistem pendidikan yang salah. Seringkali hanya mengajarkan teori-teori tanpa melihat keluar lingkungan sekitar."

Dudi melebarkan senyumnya.

"Kita tidak tahu bagaimana caranya bergaul dengan tukang es cendol, dengan guru, dengan orang tua siswa, dengan polisi, dengan pengangguran, bahkan dengan gelandangan. Itu semua tidak bisa kalau hanya berdiam diri tidak berbuat apa-apa. Terus ada yang bilang marah itu tidak baik. Aku sangat setuju karena bisa merusak psikis dan mantal tetapi itu kan hanya untuk marah berlebihan." 

Dudi langsung berkomentar, "Betul Medi, marah itu karena tidak suka melihat aku diam ya." 

"Makanya Dudi, menjadikan dirimu baik akan menjadi dipandang baik oleh orang lain. Satu lagi, perbaiki dirimu ya." 

Dudi mengacungkan jempolnya sambil berlalu. Medi mencatat sebuah pesan di lajar ponselnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun