"Jangan baper Dudi. Kalau mau ngomong ya ngomong aja. Anggap aja aku tidak ada. Dan, memang selalu aku dianggap tidak ada."
"Aku tahu kamu itu teman baik aku. Makanya, aku paksa kamu untuk mau berbagi peduli dengan aku."Â
Gadis itu mengambil botol teh susu rasa teh matcha yang barusan dibeli dari supermarket. Tutup itu ia buka dan mengenggaknya sebagian.Â
"Ngomong aja. Kan tidak ada yang mendengar kecuali aku. Untuk apa memaksaku ke sini kalau yang mengajak cuma diam lama." Ucap Medi setengah memaksa.
"Aku cuma heran... kenapa aku yang selalu dibenci seakan ada yang nista dari diri aku. Keluarga tapol bukan, pembuat onar bukan, bukan juga siswa bermasalah, bukan juga pelaku perkelahian, mencuri enggak pernah. Memangnya senista apa sih aku ini."Â
Gadis itu menuliskan sesuatu di Iphone-nya. Medi hanya mendengar saja sambil mengetik.
"Setiap mau berkumpul selalu saja ada marah. Mau ngomong juga ada marah. Bicara santai juga ujungnya marah. Orang sampai bilang kekuatanku hanya satu, yaitu marah. Tepatnya, bikin orang marah. Padahal yang pantas dimarahi 'kan harusnya penjahat atau pembuat onar. Aku baru tahu, orang pendiam itu ternyata merupakan makhluk yang dibenci ya sehingga harus dinista."Â
Medi selesai mengetik di layar telepon pintarnya. Ia langsung menegakkan badannya. Matanya menatap lurus menghadap Dudi. Ia menatap dengan serius.
"Problemmu cuma satu Dudi. Kamu harus punya perhatian terhadap orang lain. Sikapmu itu saja sudah cukup memberi penilaian bagi orang lain. Apa yang kamu lakukan kepada mereka suatu saat akan dibalas sebagaimana perlakuan kamu." Kata Medi menghibur Dudi.Â
"Aku anak baik-baik Med, enggak pernah marah dan benci."Â
"Sebaik apa kamu sama mereka. Cobalah kamu bercermin. Seperti apa kalau kamu menatap dirimu sendiri. Kamu pastinya bisa menanggapi apa yang kamu lakukan. Selama ini kamu menilai dirimu seperti apa? Mereka marah sama kamu karena ada yang salah dengan dirimu. Kenapa kamu diam saja dengan orang lain? Padahal 'kan teman-temanmu banyak."Â