Memahami Politik Identitas di Pilkada
Pilkada di Indonesia, yang menjadi bagian integral dari demokrasi lokal, sering kali menghadapi tantangan serius berupa penggunaan politik identitas. Di beberapa wilayah, terutama di kota-kota besar, narasi politik sering bergeser dari debat visi dan misi menjadi kampanye yang memanfaatkan identitas baik agama, etnis, atau ideologi untuk mempengaruhi pemilih. Fenomena ini tidak hanya menimbulkan ketegangan sosial jangka pendek, tetapi juga dapat menciptakan keretakan dalam harmoni sosial yang berkepanjangan.
Sebagai negara dengan keberagaman suku, agama, dan budaya yang sangat tinggi, Indonesia menghadapi risiko besar jika politik identitas terus menjadi elemen kunci dalam setiap pemilihan umum. Jika tidak dikelola dengan bijak, isu ini berpotensi menciptakan polarisasi di antara masyarakat yang seharusnya bersatu.
Kasus Pilkada DKI Jakarta 2017: Pelajaran dari Sejarah
Pilkada DKI Jakarta 2017 adalah salah satu contoh paling menonjol dari bagaimana politik identitas dapat membelah masyarakat. Pada saat itu, kampanye tidak hanya berfokus pada program pembangunan kota atau perbaikan layanan publik, tetapi diwarnai oleh penggunaan sentimen agama untuk memenangkan dukungan. Isu agama yang berpusat pada dugaan penistaan agama oleh petahana, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), menjadi senjata utama dalam kampanye oleh lawan-lawan politiknya.
Dampaknya terasa hingga hari ini, di mana masyarakat Jakarta masih mengalami sisa-sisa polarisasi. Beberapa kajian menunjukkan bahwa hubungan antarumat beragama, khususnya antara kelompok mayoritas Muslim dan minoritas, mengalami ketegangan yang signifikan selama dan setelah Pilkada tersebut. Meskipun pemenang Pilkada telah diputuskan, luka sosial yang muncul tidak hilang begitu saja. Data dari Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada tahun 2017 menunjukkan bahwa sebanyak 34,3% masyarakat Jakarta merasa bahwa Pilkada tersebut memperburuk hubungan antarumat beragama.
Polarisasi ini juga memengaruhi ranah politik nasional, di mana isu agama menjadi lebih sering diangkat dalam berbagai pemilu dan pilkada selanjutnya. Sebagai contoh, dalam Pemilu Presiden 2019, narasi yang serupa muncul kembali, menunjukkan bagaimana dampak Pilkada DKI Jakarta 2017 menjalar ke arena politik yang lebih luas.
Dampak Pasca-Pilkada: Polarisasi dan Keharmonisan Sosial
Pasca Pilkada yang diwarnai oleh politik identitas, keretakan sosial sering kali sulit diperbaiki. Polarisasi yang terjadi tidak hanya mempengaruhi hubungan sosial di masyarakat, tetapi juga mengganggu stabilitas politik lokal. Dalam beberapa kasus, terjadi peningkatan intoleransi terhadap kelompok minoritas atau kelompok tertentu yang dikaitkan dengan kandidat tertentu.
Penelitian yang dilakukan oleh SETARA Institute pada tahun 2019 menunjukkan bahwa ada peningkatan jumlah kasus intoleransi di beberapa daerah pasca Pilkada yang diwarnai politik identitas. Di Jakarta, misalnya, beberapa kelompok minoritas merasa lebih terpinggirkan dalam kehidupan sosial dan politik kota. Masyarakat yang sebelumnya hidup berdampingan dengan damai, kini lebih tersegmentasi dan cenderung memilih untuk mengelompokkan diri berdasarkan afiliasi politik atau identitas keagamaan.
Membangun Pilkada yang Lebih Inklusif dan Anti-Politik Identitas
Untuk mencegah terulangnya politik identitas yang memecah belah dalam Pilkada 2024, perlu adanya upaya sistematis dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, penyelenggara pemilu, partai politik, dan masyarakat. Beberapa langkah konkret yang dapat diambil adalah:
1. Penguatan Regulasi Kampanye
  Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) perlu memperketat pengawasan terhadap kampanye yang menggunakan narasi berbasis identitas. Perlu ada aturan yang lebih jelas dan ketat yang melarang kampanye yang mengandung unsur SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan). Sanksi tegas harus diberikan kepada kandidat yang terbukti menggunakan politik identitas dalam kampanyenya.
2. Edukasi Pemilih untuk Mencegah Manipulasi Identitas Â
  Masyarakat harus lebih diedukasi tentang pentingnya memilih berdasarkan program kerja, bukan identitas. Kampanye edukasi pemilih oleh lembaga non-pemerintah, media, dan akademisi dapat membantu masyarakat lebih kritis dalam memilah narasi politik. Selain itu, media juga harus berperan dalam memberikan informasi yang objektif dan tidak menyebarkan berita yang mengandung unsur provokatif berbasis identitas.
3. Dialog Antaragama dan Antarbudaya yang Berkelanjutan Â
  Pemerintah dan organisasi masyarakat sipil harus aktif mempromosikan dialog antaragama dan antarbudaya, terutama di daerah-daerah yang rawan konflik identitas. Dialog ini penting untuk membangun kembali kepercayaan antarwarga pasca Pilkada, sekaligus mencegah ketegangan berlanjut. Ini bisa berbentuk kegiatan lintas agama atau dialog komunitas yang melibatkan tokoh agama dan tokoh masyarakat setempat.