Penulis juga mampu membawakan kisah dan sejarah suatu kejadian dengan runtun dan jelas.
Latar tempat yang digunakan pun menarik. Jarang sekali ada sebuah novel yang menjelaskan suatu kota atau daerah dengan begitu jelas, detail dan tidak berbelit-belit. Saya sebagai orang luar Pontianak, jadi sedikit banyak tau tentang kota Pontianak dari novel ini.
Dan yang paling mengesankan adalah, bagaimana cara penulis menghadirkan teka teki dan misteri ke hadapan pembaca sehingga pembaca merasa tertarik dan ingin tau akan kebenaran sesungguhnya, hingga akhirnya mereka menamatkan novel ini dengan sukarela.
Mulai dari apa yang sebenarnya terjadi pada Ayah Borno, ketidaksukaan Papa Mei akan kehadiran Borno, menjauhnya Mei dari kehidupan Borno, siapa sebenarnya Sarah yang begitu dekat dengan Mei, hingga fakta sebenarnya angpau merah yang tertinggal di sepit,
Yang terakhir, ada banyak kutipan menarik yang bisa kita temukan di novel ini, seperti :
“Cinta sejati selalu menemukan jalan, Borno. Ada saja kebetulan, nasib, takdir, atau apalah sebutannya.” (halaman 194)
“Sejatinya, rasa suka tidak perlu diumbar, ditulis, apalagi kau pamer-pamerkan. Semakin sering kau mengatakannya, jangan-jangan dia semakin hambar, jangan-jangan kita mengatakannya hanya karena untuk menyugesti, bertanya pada diri sendiri, apa memang sesuka itu.” (halaman 428)
“Kau tidak perlu bergaya seperti anggota grup music ternama, atau actor kawakan, atau orang paling kaya sedunia. Cukup jadilah diri sendiri, Borno, seorang pengemudi sepit.” (halaman 298)
Kekurangan :
Ending tidak ditulis secara jelas. Seakan-akan penulis sengaja membiarkan pembaca meraba-raba dan berimajinasi sendiri akan apa yang terjadi.
Terlalu banyak selingan & candaan yang terkadang melambatkan tempo dan semangat dalam membaca. Halamannya yang begitu banyak membuat sebagian orang berpikir-pikir lagi untuk membaca novel ini. Cover buku yang tidak mencerminkan kisah di dalamnya, sehingga menimbulkan rasa ambigu