Dalam masa pandemi COVID-19, perempuan menjadi salah satu kelompok yang sangat rentan terdampak akibat adanya pandemi COVID-19. Permasalahan-permasalahan yang hadir akibat pandemi COVID-19 tidak hanya berkaitan dengan ketidaksetaraan yang diterima oleh kelompok perempuan ataupun masalah ancaman kesehatan, melainkan juga berpotensi untuk memaksa peran ganda kelompok perempuan menjadi tulang punggung bagi keberlangsungan hidup keluarganya, sekaligus bertanggung jawab terhadap urusan rumah tangga.Â
Salah satu faktor penyebabnya adalah "pemerintahan di berbagai penjuru dunia telah memberlakukan kebijakan WFH (work from home), meminta masyarakat lebih banyak tinggal di rumah, dan melarang perkumpulan banyak orang." (Sulaeman dan Salsabila, 2020: 160).Â
Aturan ini memaksa banyak perusahaan untuk mengeluarkan sebagian besar karyawannya untuk dapat memangkas biaya pengeluaran perusahaan akibat pandemi COVID-19. Hal ini tidak hanya berdampak pada laki-laki, melainkan juga berdampak pada perempuan. Bahkan, dengan dikeluarkannya laki-laki dari perusahaan tempatnya bekerja akibat pandemi COVID-19, telah memaksa perempuan untuk melakukan peran ganda agar dapat mempertahankan hidup bagi keluarganya.
Melansir Siaran Pers Nomor: B-285/Set/Rokum/MP 01/10/2020 yang dikeluarkan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia, "Sejak awal pandemi, perempuan rentan mengalami berbagai permasalahan, seperti beban ganda, kehilangan mata pencaharian, terpaksa menjadi tulang punggung keluarga, hingga mengalami kekerasan berbasis gender." (Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia, 2020).Â
Keadaan ini yang perlu diperhatikan oleh berbagai pihak, baik pemerintah maupun masyarakat untuk secara bersama-sama dapat memberdayakan kelompok perempuan dan memberikan ruang yang aman bagi perempuan, khususnya pada masa pandemi COVID-19. Berbagai tekanan yang diterima oleh kelompok perempuan telah menuntut mereka untuk dapat melakukan berbagai peran keluarga secara bersamaan. Apalagi, bagi kelompok perempuan yang menjalankan aktivitas sebagai wanita karier.
Melihat tingginya tekanan dan beban yang harus dirasakan oleh kelompok perempuan, maka terdapat kemungkinan dan potensi besar bagi perempuan untuk dapat menjadi pemimpin yang posisinya setara dengan kelompok laki-laki. "Dengan demikian peempuan [perempuan] dan laki-laki memiliki peluang atau akses yang sama dalam kepemimpinan." (Nuryati, 2015: 162).
Kepemimpinan perempuan perlu menjadi perhatian lebih dan perlu dipertimbangkan oleh berbagai lembaga maupun organisasi. Hal ini dimaksudkan untuk menghilangkan pandangan tradisional di masyarakat yang "...menempatkan kaum laki-laki sebagai penguasa masyarakat, (male dominated society) bahkan masyarakat agama dengan ajaran-ajarannya yang orthodox cenderung mempertebal perilaku demikian." (Nuryati, 2015: 171).Â
Oleh karena itu, posisi perempuan dalam perspektif masyarakat tradisional perlu dievaluasi kembali dengan menghilangkan batas-batas peran dan hak perempuan, khususnya dalam hal kepemimpinan yang seharusnya dimiliki oleh perempuan.
Perspektif teori liberal membantu kita untuk melihat isu kepemimpinan bagi kelompok perempuan, khususnya bagi kelompok perempuan di Indonesia yang terdampak akibat pandemi COVID-19. "Aliran ini menyatakan bahwa kebebasan dan kesamaan berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik." (Nuryati, 2015: 165).Â
Dalam hal ini, teori feminisme liberal menitikberatkan pada pentingnya kebebasan dan kesetaraan bagi kelompok perempuan atas kelompok laki-laki dengan rasionalitas sebagai landasan berpikir melalui upaya pemisahan antara ruang publik dan ruang privat.Â
Selain itu, teori feminisme liberal "...menyadari bahwa negara itu didominasi oleh kaum Pria, yang terefleksikan menjadi kepentingan yang bersifat "maskulin", tetapi mereka juga menganggap bahwa negara dapat didominasi kuat oleh kepentingan dan pengaruh kaum pria tadi." (Nuryati, 2015: 165-166). Maka dari itu, mereka memberikan perhatian lebih kepada pentingnya posisi perempuan sebagai individu untuk berjuang secara mandiri dalam mencapai akses posisi sebagai pemimpin.