Kendati demikian, menjelang tahun baru dan di tengah hiruk-pikuk Jakarta yang tak pernah tidur, ada rasa senang sekaligus cemas yang menghinggapi banyak orang.
Tahun baru adalah waktu untuk memulai lembaran baru, tetapi bagi mereka yang merantau, ada rasa kehilangan yang tak bisa dihindari. Ada jarak antara impian yang dikejar dan kenyataan yang diterima.
Sebagian besar dari kita mungkin datang dengan ekspektasi besar dan begitu tinggi, tetapi realita yang dihadapi sering kali lebih keras dan tak sesuai dengan bayangan yang kerap dipikirkan.
Namun di tengah-tengah keramaian dan kegelisahan itu, ada sesuatu yang tetap memberikan harapan. Harapan akan perubahan dan kesempatan baru yang datang dengan pergantian tahun.
Tahun Baru dan Refleksi Diri di Tanah Rantau
Bagi perantau seperti saya, yang jauh dari keluarga dan kampung halaman, pergantian tahun adalah waktu yang penuh refleksi.
Di satu sisi, kita merayakan kebebasan yang datang dengan hidup di kota besar seperti Jakarta dengan kebebasan untuk menentukan arah hidup, kebebasan untuk membuat pilihan, dan kebebasan untuk mengejar impian tanpa batasan.
Namun di sisi lain, ada rasa sunyi yang tak bisa dihindari saat menyaksikan keluarga dan teman-teman merayakan tahun baru bersama di kampung halaman dan bersama orang yang dicintainya.
Jakarta sebagai kota tanpa sekat, menyambut tahun baru dengan gemerlap cahaya dan pesta yang berlangsung sepanjang malam. Jalanan yang biasanya dipenuhi dengan kesibukan, berubah menjadi panggung perayaan.
Namun bagi seorang perantau, ada ironi dalam kegembiraan itu. Meskipun kita dikelilingi oleh keramaian, kadang terasa lebih kesepian dari sebelumnya.