Buku Kolom Demi Kolom juga secara jelas menggambarkan ketegangan antara kebebasan pers dan sensor yang diterapkan oleh pemerintah.
Pada masa Orde Baru, banyak jurnalis yang terpaksa mengelola kata-kata mereka dengan hati-hati atau bahkan menahan diri untuk tidak menyentuh isu-isu sensitif yang bisa memicu kontroversi atau bahkan dikriminalisasi dari pihak pemerintah.
Kendati demikian, meskipun berada di bawah kendali rezim yang represif, Mahbub menunjukkan bahwa kolom dapat menjadi sarana untuk mengkritik keadaan dengan cara yang cerdik dan hati-hati.
Translator buku Binatangisme karya George Orwell ini mengingatkan pembaca bahwa kendati ruang kebebasan pers dibatasi, tetap ada cara untuk menyampaikan kebenaran dan menggugah kesadaran publik melalui kata-kata yang tepat.
Dengan menggunakan bahasa yang elegan, tajam, dan kaya dengan sentuhan sarkasme, Mahbub tetap dapat menyampaikan pesan-pesan kritisnya tanpa langsung menantang otoritas yang ada.
Dalam buku ini, kita melihat bagaimana Mahbub menggunakan berbagai taktik dalam penulisannya untuk menghindari sensor seperti menggunakan alegori atau perbandingan yang halus.
Meski demikian, tulisan-tulisan dalam Kolom Demi Kolom tetap mengandung kritik tajam terhadap sistem yang ada tanpa harus kehilangan kredibilitas dan integritas jurnalis.
Kritik Sosial dan Refleksi tentang Pembangunan
Salah satu tema yang sering muncul dalam tulisan-tulisan Mahbub Djunaidi di Kolom Demi Kolom adalah kritik terhadap kebijakan pembangunan yang dijalankan oleh pemerintah Orde Baru.
Meskipun pemerintah pada waktu itu banyak berfokus pada pembangunan ekonomi, Mahbub menyuarakan kekhawatirannya tentang ketimpangan sosial yang timbul akibat kebijakan tersebut.
Ketua Umum PB PMII Pertama ini melihat bahwa kendati banyak pembangunan infrastruktur yang berhasil dilakukan, namun sebagian besar rakyat Indonesia, terutama di daerah-daerah terpencil tidak merasakan dampak positif dari pembangunan tersebut.