Sekitar dua tahun lalu (kata kawan saya, itu baru seumur jagung untuk anak rantau), saya meninggalkan kampung halaman yang nyaman dan penuh kenangan, berpindah ke Jakarta dengan satu tujuan mulia, yaitu melanjutkan jenjang pendidikan Magister dan mencari hidup yang lebih baik.
Kalau kalian bertanya, apa itu hidup yang lebih baik? Jawabannya akan sangat subjektif dan bisa berbeda-beda. Tetapi bagi saya, itu berarti menjadi lebih memanusiakan, humble, dan empati.
Saya membayangkan Jakarta sebagai tempat dimana segala impian bisa terwujud. Kota dengan penuh gemerlap, gedung pencakar langit yang menjulang tinggi, jalan-jalan yang tak pernah sepi, dan tentu para pejuang yang saling berkompetisi untuk menjadi yang terbaik.
Namun kenyataannya? Jakarta ternyata lebih mirip taman bermain yang penuh dengan jeratan dan perangkap.
Lalu saya? Saya lebih mirip sebagai pemulung hikmah yang harus mengais-ngais pelajaran hidup dari segala kegilaan yang terdapat di kota ini.
Membuka Mata di Tanah Rantau
Jakarta bagi saya adalah kota yang tidak pernah berhenti memberikan kejutan. Bukan kejutan yang menyenangkan seperti hadiah ulang tahun atau liburan gratis ke Bali, melainkan kejutan-kejutan yang menguji kesabaran dan mengajarkan kita untuk lebih realistis dalam hidup.
Setiap hari, saya terbangun dengan suara pengangkut sampah yang mengusik telinga seperti alarm otomatis yang memberikan sinyal bahwa waktu tidur sudah habis.
Berjalan keluar dari kontrakan, saya langsung dihadapkan pada pemandangan macet parah yang seolah-olah menjadi bagian dari rutinitas tiap hari.
Siapa yang tidak suka menghabiskan lebih dari satu jam di atas kendaraan hanya untuk mencapai kampus yang jaraknya lebih dari 20 kilometer? Itulah kenyataan hidup di Jakarta.