Pemilih merasa bahwa tidak ada yang cukup baik di antara calon-calon yang tersedia, jadi kenapa harus memilih? Bahkan lebih baik mengosongkan surat suara sebagai bentuk protes daripada memilih "kejahatan yang lebih kecil".
Dalam konteks ini, kotak kosong bukan pilihan cerdas, melainkan simbol kebosanan, frustrasi, kejenuhan atau mungkin kemuakan atas gaya politik lama yang telah usang.
Kotak Kosong merupakan Kemenangan Demokrasi atau Kegagalan Sistem?
Ini adalah pertanyaan besar yang harus kita jawab dengan hati-hati. Beberapa orang mungkin melihat fenomena ini sebagai kemenangan demokrasi. "Lihat, rakyat akhirnya memilih kebebasan untuk memilih demi tidak memilih!", begitu kata orang-orang.
Apabila kita berpikir lebih jauh, kemenangan kotak kosong boleh jadi merupakan bukti atas kegagalan sistem politik yang lebih besar. Demokrasi yang sehat seharusnya memberikan kita pilihan yang tidak hanya layak, tetapi juga penuh dengan visi dan harapan.
Namun, jika yang terjadi justru sebaliknya (ketika pemilih merasa tidak calon yang layak), maka boleh jadi kita sedang berbicara tentang kegagalan total dalam penyediaan pemimpin yang berkualitas.
Ini ditegaskan pula oleh Papageorgiou (2021), bahwa ketika pemilih merasa tidak ada calon yang sesuai dengan harapan mereka, maka mereka akan cenderung memilih untuk tidak memilih sama sekali.
Dalam hal ini, kotak kosong menjadi pilihan yang aman dan alternatif terakhir untuk menyatakan ketidakpercayaan terhadap calon yang tersedia, sekaligus sebagai kritik terhadap kualitas kandidat yang maju dalam arena Pilkada.
Apakah kita benar-benar hidup dalam sistem demokrasi yang berfungsi dengan baik? Atau kita hanya menjalani formalitas pemilihan yang tidak membawa perubahan yang signifikan? Patut direnungkan!
Bentuk Protes yang tidak Terdengar
Mungkin banyak yang berpendapat bahwa memilih kotak kosong adalah bentuk protes. "Kita memilih kotak kosong untuk menunjukkan bahwa kita tidak puas dengan pilihan yang ada", kata mereka dengan bangga.