Mohon tunggu...
Muhammad Rafly Setiawan
Muhammad Rafly Setiawan Mohon Tunggu... Lainnya - Manager Pemantauan Nasional Netfid Indonesia | Mahasiswa Magister Manajemen Universitas Nasional

Kader Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia yang memiliki hobi travelling, menulis dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Paradoks yang Menyenangkan: Ngopi, Generasi Muda & Penguatan Demokrasi

28 November 2024   18:54 Diperbarui: 25 Desember 2024   19:57 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://rri.co.id/hiburan/680908/tren-budaya-ngopi-ala-anak-muda

Namun apakah benar demikian adanya? Seberapa sering diskusi mengenai kebijakan publik berakhir dengan keputusan untuk mencari kafe yang lebih nyaman atau sekedar bercanda tentang siapa yang akan jadi pemimpin berikutnya?

Pernyataan ini tidak jauh dari kebenaran apabila kita merujuk pada studi yang dilakukan oleh Indonesian Journal of Political Studies (2022), yang menyebutkan bahwa kebanyakan diskusi politik di kalangan anak muda Indonesia lebih sering menjadi ajang pamer opini dan kurang diiringi dengan pemahaman yang mendalam tentang isu yang dibahas.

Misalnya, "katakanlah" banyak yang berbicara tentang pentingnya penguatan demokrasi, tetapi lebih banyak melakukannya dengan postingan Instagram atau tweet berisi kritik yang tidak konstruktif ketimbang berpartisipasi dalam organisasi yang mengedukasi masyarakat mengenai hak politik mereka.

Kopi dalam konteks ini, lebih sering menjadi pengalih perhatian dari pekerjaan rumah demokrasi yang sebenarnya. Kendati mendalami bagaimana sistem politik bisa diperbaiki. Generasi muda justru lebih asyik berbincang tentang topping kopi yang lebih baik atau apakah espresso lebih otentik dibandingkan dengan kopi instan atau kopi sachet.

Demokrasi yang butuh lebih dari Cangkir Kopi

Kita tidak bisa hanya menyalahkan kopi atau budaya ngopi karena masalahnya jauh lebih kompleks. Penguatan demokrasi membutuhkan partisipasi aktif, pendidikan politik yang mumpuni, dan kesadaran akan pentingnya hak serta kewajiban dalam sebuah negara demokratis.

Generasi muda yang duduk santai di kafe mungkin merasa sudah berpartisipasi dalam demokrasi karena mereka berbicara tentang politik, tetapi tanpa partisipasi dalam pemilu atau aktivitas sosial-politik lainnya, semua itu hanya sekadar omong kosong yang tidak berpengaruh pada perubahan nyata.

Menurut penelitian terbaru oleh Democracy Index Indonesia (2023), meskipun Indonesia mengalami kemajuan dalam hal kebebasan berpendapat dan hak asasi manusia, namun tingkat partisipasi politik yang aktif di kalangan pemilih muda masih sangat rendah.

Survei tersebut menunjukkan bahwa banyak dari mereka yang lebih tertarik untuk mengikuti tren politik di media sosial daripada benar-benar memahami atau terlibat dalam proses peralihan kekuasaan yang bisa mempengaruhi nasib negara.

Mirisnya, mereka lebih banyak memberi perhatian pada memilih kandidat yang lebih populer atau mendukung partai yang lebih keren ketimbang memahami visi, misi, atau kebijakan yang ditawarkan oleh calon-calon pemimpin tersebut.

Hal ini menunjukkan bahwa kopi yang sering dianggap sebagai "penyemangat" diskusi politik, kadang justru menjadi penunda bagi tindakan nyata. Alih-alih bergerak menuju solusi yang berkelanjutan, diskusi politik di kedai kopi seringkali berhenti pada tingkat pendapat pribadi tanpa menyentuh akar masalah yang lebih dalam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun