Mohon tunggu...
Muhammad Rafly Setiawan
Muhammad Rafly Setiawan Mohon Tunggu... Lainnya - Manager Pemantauan Nasional Netfid Indonesia

Kader Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia yang memiliki hobi travelling, menulis dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Kentut, Politik Uang, dan H-1 Pilkada Serentak 2024

26 November 2024   18:17 Diperbarui: 26 November 2024   21:10 276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://beritabaru.co/kekuatan-politik-kerakyatan-dan-politik-uang-meneropong-proses-politik-pilkada-sumatera-selatan/

Pilkada serentak 2024 sudah di depan mata. H-1 merupakan hari yang penuh dengan gejolak serta harapan palsu. Dan tentu saja, kentut politik yang bisa kita cium dari jauh.

Bagaimana mungkin kita melewatkan momen penting seperti ini? Pemilihan kepala daerah yang katanya mengangkat suara rakyat, padahal yang terangkat malah suara tas uang yang berisik di setiap sudut dan tempat. Seperti halnya kentut, kadang muncul tanpa diduga, begitu juga politik uang yang kerap muncul tiba-tiba namun mencuri perhatian tanpa diundang.

Mari kita mulai dengan membahas kentut, sesuatu yang lebih jujur dan tidak tersembunyi. Kentut adalah fenomena biologis yang tidak bisa disembunyikan. Ia keluar begitu saja, tidak peduli apakah kita berada di ruang rapat atau di depan kamera maupun di ruang tamu keluarga.

Sama seperti kentut, politik uang dalam Pilkada juga selalu muncul secara tiba-tiba. Rakyat yang masih berharap bisa memilih dengan hati nurani, justru dihadapkan dengan tawaran uang tunai untuk suara mereka. Inikah yang dimaksud dengan indahnya demokrasi? 

Yuk kita bahas satu-satu dengan sedikit lebih santai, setidak-tidaknya merawat nalar kritis kita agar kita dapat menentukan pilihan secara logis, bijak dan rasional. Oleh karena kita memilih dengan penuh rasa tanggung jawab.

Fenomena yang Lebih Jujur dibanding Politik Uang

Penulis akan berbicara sedikit tentang kentut. Kita semua pasti kerap mengalaminya bukan? Seringkali kita mendengar lelucon tentang betapa tak terkontrolnya kentut itu dan betapa seringnya ia hadir di saat-saat yang paling tidak tepat.

Begitu pula dengan politik uang yang meskipun telah menjadi bagian dari perjalanan demokrasi kita, namun tidak pernah tercium dengan baik sampai saat yang sangat mendesak, biasanya H-1 sebelum Pilkada.

Seperti kentut yang tidak bisa ditahan, politik uang ini hadir dengan cara yang lebih halus, dibalut dengan janji-janji indah yang akhirnya hanya berujung pada kekecewaan. Sejarah mencatat, politik uang sudah lama menghiasi wajah demokrasi Indonesia.

Menurut Siregar (2018), fenomena politik uang kerap menjadi bagian dari sistem yang sudah terstruktur dengan baik. Politisi yang ingin memastikan suara mereka terjamin, lebih memilih memberikan uang daripada berjuang dengan ide atau visi yang murni, genuine dan orisinal. Jadi, ketika kita melihat kentut sebagai sesuatu yang "alami dan jujur", politik uang juga layaknya kentut, sesuatu yang selalu muncul tanpa bisa disembunyikan lagi. 

Sesuatu yang tidak bisa diubah seperti Kentut

Di Indonesia, kita sudah sangat terbiasa dengan politik uang. Setiap kali menjelang perhelatan Pemilihan Umum maupun Pemilihan Kepala Daerah, para calon pemimpin berlomba-lomba "menabur uang" dengan harapan bisa membeli suara rakyat.

Begitu banyak calon yang menggunakan cara ini dengan alasan "membantu" rakyat kecil yang kesulitan. Sungguh mulia bukan? Mereka seolah lupa bahwa politik bukanlah tentang memberi uang, melainkan tentang memberi solusi nyata terhadap masalah yang ada.

Politisi sepertinya sudah lupa bahwa demokrasi bukanlah soal transaksi, melainkan soal memilih berdasarkan kemampuan, visi dan integritas. Apakah betul bangsa kita tidak pernah belajar dari kesalahan, termasuk menormalisasi politik uang?

Di sini kita bisa melihat ironi yang tidak terlalu berbeda dengan kentut. Seperti kentut yang tak bisa ditahan, tetap saja memberikan dampak. Politik uang bisa saja tampak seperti solusi sesaat, tetapi dampaknya jauh lebih besar dalam jangka panjang.

Tentu saja, politik uang bukan hal yang baru lagi di negara kita. Susanti dan Rahman (2021), menegaskan bahwa praktik politik uang bukan hanya masalah moral tetapi juga soal keberlanjutan sistem demokrasi itu sendiri. Politik yang mengandalkan politik uang untuk suara tak pernah berusaha membangun kredibilitas atau visi yang bisa dipercaya oleh rakyat.

Waktu Terbaik untuk menghirup aroma Kentut Politik

H-1 Pilkada serentak 2024 adalah hari yang penuh dengan kegelisahan, strategi terakhir yang diubah-ubah, dan tentu saja pergerakan uang yang makin riuh. Jika kita mengibaratkan Pilkada seperti perayaan makan besar, H-1 adalah saat dimana kentut mulai tercium.

Di situlah para calon mulai menjual janji-janji mereka dengan cara yang paling praktis, yakni dengan uang. Para pemilih yang semula ragu-ragu, akhirnya dibuat terkesan dengan tawaran yang "tak tertahankan". Tentu saja, ini bukan karena calon pemimpin tersebut memiliki program yang brilian, melainkan karena mereka punya uang yang cukup untuk "membayar" suara.

Mereka yang benar-benar menginginkan perubahan seolah menjadi minority yang terpinggirkan. Ini mirip dengan fenomena kentut yang mendominasi ruangan tanpa ada yang bisa menahannya.

Menurut Kementerian Dalam Negeri (2022), praktik politik uang ini dapat merusak esensi Pemilu maupun Pemilihan itu sendiri. Pemilih yang seharusnya memilih berdasarkan penilaian terhadap kinerja dan visi calon, justru terpaksa memilih berdasarkan uang yang mereka terima.

Anehnya, apakah ada yang bisa melakukan sesuatu untuk mengubah ini? Sepertinya tidak. Maka jangan heran, apabila penulis menyamakan kentut dan politik uang, karena meski tidak menyenangkan namun kejadian tersebut terus berulang.

Apakah kita bisa menghindarinya?

Tentu saja bisa dengan harapan mengurangi praktik politik uang tersebut, seperti kita berharap kentut tidak menganggu pertemuan penting. Namun kenyataannya, sangat jauh berbeda.

Kentut dan politik uang memiliki kesamaan mendalam. Keduanya sulit untuk dikendalikan, bahkan lebih sulit untuk dihindari. Kita bisa berusaha menahan kentut, tetapi akhirnya ia akan keluar juga. Sama halnya politik uang, kita bisa berharap bahwa sistem akan bersih dari praktik ini tetapi faktanya jauh lebih kompleks.

Pada akhirnya, kita dihadapkan pada dua pilihan yakni menerima bahwa politik uang adalah bagian dari permainan atau berusaha mengubahnya meskipun itu lebih mirip dengan berusaha menghindari kentut yang terus datang dengan sendirinya.

Untuk itu sebagai penutup, mari kita renungkan bersama bahwa di H-1 Pilkada serentak 2024, ketika kentut politik mulai berbau maka kita seharusnya bertanya pada diri sendiri. Apakah kita akan terus menjadi bagian dari permainan ini atau apakah kita akan berdiri tegak dan menuntut perubahan yang sesungguhnya?

Kendati demikian, perubahan itu akan lebih sulit tercapai daripada menahan kentut di ruang rapat yang penuh tekanan. Sebab, seperti yang kita tahu, politik uang akan terus ada, sama seperti kentut yang tak pernah bisa dihindari (hanya bisa ditahan untuk sementara waktu.

Patut disadari bagi kita semua bahwa suara kita sangat menentukan arah kebijakan daerah dalam suksesi Pilkada serentak 2024 besok. Suara kita tidaklah murah, namun suara kita adalah makna dari vox populi vox dei!

Referensi

Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia. (2022). Laporan Evaluasi Politik Uang dalam Pemilihan Kepala Daerah. Jakarta: Kementerian Daam Negeri.

Siregar, M. A., & Nasution, M. (2018). Politik Uang dalam Pemilu dan Pilkada: Analisis Empiris di Indonesia. Jurnal Politik, 13(2), 109-123.

Susanti, A., & Rahman, F. (2021). Politik Uang dalam Pilkada: Dampak terhadap Demokrasi dan Kesejahteraan Rakyat. Jurnal Ilmu Politik Indonesia, 18(1), 45-59.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun