Anehnya, apakah ada yang bisa melakukan sesuatu untuk mengubah ini? Sepertinya tidak. Maka jangan heran, apabila penulis menyamakan kentut dan politik uang, karena meski tidak menyenangkan namun kejadian tersebut terus berulang.
Apakah kita bisa menghindarinya?
Tentu saja bisa dengan harapan mengurangi praktik politik uang tersebut, seperti kita berharap kentut tidak menganggu pertemuan penting. Namun kenyataannya, sangat jauh berbeda.
Kentut dan politik uang memiliki kesamaan mendalam. Keduanya sulit untuk dikendalikan, bahkan lebih sulit untuk dihindari. Kita bisa berusaha menahan kentut, tetapi akhirnya ia akan keluar juga. Sama halnya politik uang, kita bisa berharap bahwa sistem akan bersih dari praktik ini tetapi faktanya jauh lebih kompleks.
Pada akhirnya, kita dihadapkan pada dua pilihan yakni menerima bahwa politik uang adalah bagian dari permainan atau berusaha mengubahnya meskipun itu lebih mirip dengan berusaha menghindari kentut yang terus datang dengan sendirinya.
Untuk itu sebagai penutup, mari kita renungkan bersama bahwa di H-1 Pilkada serentak 2024, ketika kentut politik mulai berbau maka kita seharusnya bertanya pada diri sendiri. Apakah kita akan terus menjadi bagian dari permainan ini atau apakah kita akan berdiri tegak dan menuntut perubahan yang sesungguhnya?
Kendati demikian, perubahan itu akan lebih sulit tercapai daripada menahan kentut di ruang rapat yang penuh tekanan. Sebab, seperti yang kita tahu, politik uang akan terus ada, sama seperti kentut yang tak pernah bisa dihindari (hanya bisa ditahan untuk sementara waktu.
Patut disadari bagi kita semua bahwa suara kita sangat menentukan arah kebijakan daerah dalam suksesi Pilkada serentak 2024 besok. Suara kita tidaklah murah, namun suara kita adalah makna dari vox populi vox dei!
Referensi
Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia. (2022). Laporan Evaluasi Politik Uang dalam Pemilihan Kepala Daerah. Jakarta: Kementerian Daam Negeri.
Siregar, M. A., & Nasution, M. (2018). Politik Uang dalam Pemilu dan Pilkada: Analisis Empiris di Indonesia. Jurnal Politik, 13(2), 109-123.