Sesuatu yang tidak bisa diubah seperti Kentut
Di Indonesia, kita sudah sangat terbiasa dengan politik uang. Setiap kali menjelang perhelatan Pemilihan Umum maupun Pemilihan Kepala Daerah, para calon pemimpin berlomba-lomba "menabur uang" dengan harapan bisa membeli suara rakyat.
Begitu banyak calon yang menggunakan cara ini dengan alasan "membantu" rakyat kecil yang kesulitan. Sungguh mulia bukan? Mereka seolah lupa bahwa politik bukanlah tentang memberi uang, melainkan tentang memberi solusi nyata terhadap masalah yang ada.
Politisi sepertinya sudah lupa bahwa demokrasi bukanlah soal transaksi, melainkan soal memilih berdasarkan kemampuan, visi dan integritas. Apakah betul bangsa kita tidak pernah belajar dari kesalahan, termasuk menormalisasi politik uang?
Di sini kita bisa melihat ironi yang tidak terlalu berbeda dengan kentut. Seperti kentut yang tak bisa ditahan, tetap saja memberikan dampak. Politik uang bisa saja tampak seperti solusi sesaat, tetapi dampaknya jauh lebih besar dalam jangka panjang.
Tentu saja, politik uang bukan hal yang baru lagi di negara kita. Susanti dan Rahman (2021), menegaskan bahwa praktik politik uang bukan hanya masalah moral tetapi juga soal keberlanjutan sistem demokrasi itu sendiri. Politik yang mengandalkan politik uang untuk suara tak pernah berusaha membangun kredibilitas atau visi yang bisa dipercaya oleh rakyat.
Waktu Terbaik untuk menghirup aroma Kentut Politik
H-1 Pilkada serentak 2024 adalah hari yang penuh dengan kegelisahan, strategi terakhir yang diubah-ubah, dan tentu saja pergerakan uang yang makin riuh. Jika kita mengibaratkan Pilkada seperti perayaan makan besar, H-1 adalah saat dimana kentut mulai tercium.
Di situlah para calon mulai menjual janji-janji mereka dengan cara yang paling praktis, yakni dengan uang. Para pemilih yang semula ragu-ragu, akhirnya dibuat terkesan dengan tawaran yang "tak tertahankan". Tentu saja, ini bukan karena calon pemimpin tersebut memiliki program yang brilian, melainkan karena mereka punya uang yang cukup untuk "membayar" suara.
Mereka yang benar-benar menginginkan perubahan seolah menjadi minority yang terpinggirkan. Ini mirip dengan fenomena kentut yang mendominasi ruangan tanpa ada yang bisa menahannya.
Menurut Kementerian Dalam Negeri (2022), praktik politik uang ini dapat merusak esensi Pemilu maupun Pemilihan itu sendiri. Pemilih yang seharusnya memilih berdasarkan penilaian terhadap kinerja dan visi calon, justru terpaksa memilih berdasarkan uang yang mereka terima.