Mohon tunggu...
Muhammad Rafly Setiawan
Muhammad Rafly Setiawan Mohon Tunggu... Lainnya - Manager Pemantauan Nasional Netfid Indonesia

Kader Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia yang memiliki hobi travelling, menulis dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tantangan Masa Depan PMII: Antara Globalisasi, Teknologi, dan Ngopi Bersama Ideologi

15 November 2024   15:52 Diperbarui: 15 November 2024   16:29 259
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: NU Online/nu.or.id

Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) sudah lama menjadi bagian penting dalam perjalanan sejarah Indonesia, terutama dalam menyuarakan suara mahasiswa Islam yang moderat dan mengedepankan nilai-nilai keadilan sosial.

PMII tidak hanya sebagai tempat belajar, tetapi juga sebagai tempat yang melahirkan pemikiran kritis. Apa yang akan terjadi kalau di masa depan, PMII harus berhadapan dengan tantangan teknologi dan globalisasi?

Pertanyaannya bukan hanya apakah PMII akan mampu bertahan, tetapi juga bagaimana cara adaptasi PMII untuk tetap relevan di zaman serba digital. Dimana dunia sudah sangat terhubung tetapi tidak jarang ada mahasiswa yang lebih akrab dengan Instagram daripada pertemuan ilmiah.

Inilah tantangan krusial yang dihadapi oleh PMII mendatang. Oleh karena itu, penulis yang pernah mencicipi nikmatnya sepiring nasi dengan ikan sambal teri saat berada di sekretariat organisasi, akan mencoba menelaah kesiapan PMII dalam arus perubahan zaman. Mari kita ulas bersama.

Tantangan Globalisasi: Dimana Wajah Islam Moderat PMII?

Pertama, mari kita bicarakan tentang globalisasi yang tanpa diundang tiba-tiba muncul dan menyeret kita semua dalam pusaran dunia yang serba cepat dan saling terhubung.

Bayangkan saja, dahulu mahasiswa PMII masih berdiskusi dengan serius di ruang pertemuan. Tetapi sekarang, lebih sering berdiskusi di grup WhatsApp dengan tema yang bisa beralih dari masalah sosial ke pertanyaan berat, misalnya "kapan UMKM kita bisa berkembang seperti di luar negeri?".

Globalisasi memang tidak mengenal waktu dan tempat. Mau tidak mau, PMII harus siap menghadapi pengaruh lain seperti benturan ideologi dunia.

Di tengah globalisasi, tentu saja ada banyak pengaruh budaya luar yang bisa mengubah cara berpikir. Misalnya, di satu sisi kita mengenal budaya Barat yang cenderung sekuler dan materialistik, sementara sisi yang lain kita memiliki budaya lokal yang sangat kental dengan nilai-nilai Islam moderat. Menurut Hadi (2017), organisasi mahasiswa Islam perlu mempertahankan nilai-nilai budaya lokal dan ajaran Islam yang moderat agar tidak tergerus oleh pengaruh asing yang tidak sesuai dengan konteks sosial dan budaya di Indonesia.

Tantangan PMII adalah bagaimana tetap mempertahankan wajah Islam yang moderat (Ahlussunnah wal Jama'ah) tanpa terbawa arus ekstrimisme yang dengan sangat mudahnya menyusup melalui media sosial. Dalam hal ini, PMII harus berperan aktif dalam memberikan bimbingan dan pengarahan kepada anggotanya untuk lebih cerdas dan bijak dalam memilih informasi yang datang dari berbagai penjuru dunia.

Tidak hanya terbawa arus "hashtag" atau konten yang viral, PMII harus mampu memberikan pemahaman tentang moderasi beragama. Mengingat sekarang ini, pentingnya mempertahankan karakter bangsa Indonesia yang ramah, toleran dan tidak baperan dengan perbedaan.

Menurut Hasyim (2019), salah satu tantangan utama bagi organisasi mahasiswa Islam adalah bagaimana merespons perkembangan paham radikal tanpa kehilangan relevansi dalam mempromosikan Islam yang moderat dan inklusif. Oleh sebab itu, hal yang penting untuk dilakukan oleh PMII adalah mendorong anggotanya untuk tidak hanya mengunggah status seperti soal kebebasan, tetapi juga memahami kebebasan dalam konteks yang lebih luas dan penuh tanggung jawab.

Teknologi dan Media Sosial: Dari Ngobrol Kritis ke Scroll TikTok

Mari kita beralih ke tantangan teknologi, dimana dunia digital kini lebih sering menjadi ruang pertemuan ketimbang ruang kelas atau kajian. Jika dulu mahasiswa PMII berjuang dalam forum-forum ilmiah, maka sekarang banyak yang lebih "jago" mengatur akun media sosial daripada membuat esai ilmiah.

Bahkan sebagian besar, waktu mereka sepertinya habis untuk scroll Instagram ataupun Tiktok. Sambil berusaha keras untuk menjaga semangat dakwah tanpa takut terkena algoritma yang mungkin mengarahkan mereka ke "video kucing lucu".

Mungkin, ini adalah tantangan terbesar PMII mendatang. Bagaimana cara organisasi tetap relevan di tengah dominasi media sosial yang hampir menyita seluruh waktu dan perhatian mahasiwa. Apakah PMII akan menjadi organisasi yang hanya bisa berbicara tentang issue sosial-politik dengan cara mengemasnya dalam "meme lucu" dan video TikTok? Tentunya, PMII harus bisa dan beradaptasi memanfaatkan teknologi dengan cerdas tanpa kehilangan nilai spiritual-intelektual yang lebih dalam.

Menurut teori dari Cohen (2018), media sosial dapat menjadi alat yang sangat kuat untuk memperjuangkan nilai-nilai sosial namun juga bisa berbalik menjadi senjata yang merusak jika tidak digunakan dengan bijak. Oleh karena itu, PMII harus mampu menjadi contoh bagaimana teknologi dan media sosial dapat dijadikan sebagai sarana dakwah yang positif tanpa harus terjebak dalam kecanduan algoritma yang akhirnya hanya menghasilkan konten viral nir-substansi.

Pemikiran Radikal: Tantangan atau Kelemahan?

Selain teknologi, terdapat satu lagi tantangan yang cukup serius yakni penyebaran ideologi radikal yang semakin mudah dan cepat berkembang berkat kebebasan informasi yang diberikan oleh internet. Bisa dibayangkan pada era serba digital ini, muncul paham-paham yang ingin merusak tatanan sosial dan bahkan ada yang berusaha "menjual" radikalisasi dengan tampilan yang sangat meyakinkan.

Tantangan bagi PMII adalah bagaimana menyaring pemikiran radikal ini. Dan tak kalah pentingnya, bagaimana PMII membuat anggotanya tidak gampang terjebak dalam teori-teori yang mengatasnamakan Islam sebagai pembenaran dari tindakan-tindakan ekstem. Mengingat bahwa sifat media sosial yang bisa membuat siapa saja merasa memiliki "kebenaran" sendiri, maka PMII harus berperan lebih dalam memberikan pendidikan yang mencerahkan dan mendorong anggotanya untuk berpikir kritis.

TIdak jarang kita temui, mahasiswa yang lebih antusias mengikuti diskusi tentang keberagamaan di media sosial ketimbang mengkaji kitab-kitab klasik yang sudah ada (Satria, 2019). PMII harus menjadi agen perubahan yang menantang mahasiswa untuk mencari ilmu yang lebih dalam daripada sekedar menonton ceramah viral yang berdurasi 3 menit.

Menjaga Spirit PMII: Dari Ngopi ke Program-Program Kemanusiaan

Akhirnya, bagaimana PMII menjaga semangat kemanusiaan dan semangat dakwah di kalangan anggotanya? Terutama di tengah-tengah maraknya kegiatan yang cenderung lebih ringan seperti ngopi yang seringkali diselingi dengan diskusi santai namun minim substansi.

Tentu saja, PMII harus mampu mengubah kebiasaan tersebut menjadi kesempatan untuk pengembangan diri yang lebih bermakna. Bahkan dalam bentuk yang lebih menyenangkan tetapi kaya akan substansi.

Dari ngopi dengan selingan diskusi, PMII dapat mengoptimalkan program-program kemanusiaan yang tidak hanya memberikan dampak langsung kepada masyarakat, tetapi juga memperkuat kesadaran sosial bagi anggotanya. Mengadakan kajian ilmiah yang dikemas dengan cara yang menarik seperti menggunakan platform digital atau podcast, dapat menjadi pilihan yang menarik untuk menyampaikan dakwah yang lebih dekat dengan realitas mahasiswa masa kini.

Dari Membangun Kesadaran ke Membangun Aksi

Tantangan masa depan PMII memang tidak mudah. Mulai dari globalisasi, media sosial, pemikiran radikal maupun gaya hidup mahasiswa yang semakin sibuk dengan aktivitas di dunia maya. PMII harus mampu beradaptasi dengan cara yang cerdas dan dinamis.

Ini bukan hanya soal mempertahankan ideologi dan nilai-nilai luhur, tetapi juga tentang bagaimana mengemas PMII agar tetap relevan dan menarik bagi generasi muda tanpa harus mengorbankan substansi perjuangan organisasi.

Jadi, apakah PMII akan tetap bertahan di masa depan? Tentu saja. Dengan memanfaatkan teknologi dan menjaga kekayaan tradisi intelektualnya, PMII akan terus menjadi pilar penting dalam pergerakan mahasiswa di Indonesia.

Referensi

Cohen, J. (2018). Social Media and Its Role in Modern Activisme. Journal of Social Media Studies, 4(2), 21-35.

Hadi, M. (2017). Globalisasi dan Dampaknya terhadap Perubahan Sosial dan Budaya di Indonesia. Jurnal Sosial Budaya, 15(2), 118-134.

Hasyim, A. (2019). Islam dan Radikalisasi: Pengaruh Media Sosial terhadap Gerakan Islam di Indonesia. Jurnal Pemikiran Islam, 12(1), 100-115.

Satria, M. (2019). Mahasiswa dan Gerakan Sosial: PMII sebagai Agen Perubahan Sosial dan Politik. Jurnal Pendidikan Politik, 8(2), 145-160.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun