Tidak hanya terbawa arus "hashtag"Â atau konten yang viral, PMII harus mampu memberikan pemahaman tentang moderasi beragama. Mengingat sekarang ini, pentingnya mempertahankan karakter bangsa Indonesia yang ramah, toleran dan tidak baperan dengan perbedaan.
Menurut Hasyim (2019), salah satu tantangan utama bagi organisasi mahasiswa Islam adalah bagaimana merespons perkembangan paham radikal tanpa kehilangan relevansi dalam mempromosikan Islam yang moderat dan inklusif. Oleh sebab itu, hal yang penting untuk dilakukan oleh PMII adalah mendorong anggotanya untuk tidak hanya mengunggah status seperti soal kebebasan, tetapi juga memahami kebebasan dalam konteks yang lebih luas dan penuh tanggung jawab.
Teknologi dan Media Sosial: Dari Ngobrol Kritis ke Scroll TikTok
Mari kita beralih ke tantangan teknologi, dimana dunia digital kini lebih sering menjadi ruang pertemuan ketimbang ruang kelas atau kajian. Jika dulu mahasiswa PMII berjuang dalam forum-forum ilmiah, maka sekarang banyak yang lebih "jago" mengatur akun media sosial daripada membuat esai ilmiah.
Bahkan sebagian besar, waktu mereka sepertinya habis untuk scroll Instagram ataupun Tiktok. Sambil berusaha keras untuk menjaga semangat dakwah tanpa takut terkena algoritma yang mungkin mengarahkan mereka ke "video kucing lucu".
Mungkin, ini adalah tantangan terbesar PMII mendatang. Bagaimana cara organisasi tetap relevan di tengah dominasi media sosial yang hampir menyita seluruh waktu dan perhatian mahasiwa. Apakah PMII akan menjadi organisasi yang hanya bisa berbicara tentang issue sosial-politik dengan cara mengemasnya dalam "meme lucu" dan video TikTok? Tentunya, PMII harus bisa dan beradaptasi memanfaatkan teknologi dengan cerdas tanpa kehilangan nilai spiritual-intelektual yang lebih dalam.
Menurut teori dari Cohen (2018), media sosial dapat menjadi alat yang sangat kuat untuk memperjuangkan nilai-nilai sosial namun juga bisa berbalik menjadi senjata yang merusak jika tidak digunakan dengan bijak. Oleh karena itu, PMII harus mampu menjadi contoh bagaimana teknologi dan media sosial dapat dijadikan sebagai sarana dakwah yang positif tanpa harus terjebak dalam kecanduan algoritma yang akhirnya hanya menghasilkan konten viral nir-substansi.
Pemikiran Radikal: Tantangan atau Kelemahan?
Selain teknologi, terdapat satu lagi tantangan yang cukup serius yakni penyebaran ideologi radikal yang semakin mudah dan cepat berkembang berkat kebebasan informasi yang diberikan oleh internet. Bisa dibayangkan pada era serba digital ini, muncul paham-paham yang ingin merusak tatanan sosial dan bahkan ada yang berusaha "menjual" radikalisasi dengan tampilan yang sangat meyakinkan.
Tantangan bagi PMII adalah bagaimana menyaring pemikiran radikal ini. Dan tak kalah pentingnya, bagaimana PMII membuat anggotanya tidak gampang terjebak dalam teori-teori yang mengatasnamakan Islam sebagai pembenaran dari tindakan-tindakan ekstem. Mengingat bahwa sifat media sosial yang bisa membuat siapa saja merasa memiliki "kebenaran" sendiri, maka PMII harus berperan lebih dalam memberikan pendidikan yang mencerahkan dan mendorong anggotanya untuk berpikir kritis.
TIdak jarang kita temui, mahasiswa yang lebih antusias mengikuti diskusi tentang keberagamaan di media sosial ketimbang mengkaji kitab-kitab klasik yang sudah ada (Satria, 2019). PMII harus menjadi agen perubahan yang menantang mahasiswa untuk mencari ilmu yang lebih dalam daripada sekedar menonton ceramah viral yang berdurasi 3 menit.