Mohon tunggu...
Muhammad Rafly Setiawan
Muhammad Rafly Setiawan Mohon Tunggu... Lainnya - Manager Pemantauan Nasional Netfid Indonesia

Kader Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia yang memiliki hobi travelling, menulis dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Tantangan Pilkada Serentak 2024 di Indonesia

14 November 2024   14:26 Diperbarui: 14 November 2024   14:57 266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pilkada serentak 2024 merupakan momen krusial dalam perjalanan demokrasi Indonesia. Sebanyak 37 provinsi akan melaksanakan Pilgub, dan sebanyak 508 kabupaten/kota akan melaksanakan juga Pilbup/Pilwalkot. Meski tujuan utamanya adalah meningkatkan efisiensi Pemilihan dan memperkuat partisipasi politik masyarakat.

Pilkada 2024 juga menghadirkan berbagai tantangan yang perlu diatasi untuk memastikan kelancaran dan keberhasilan proses demokrasi ini. Kendati menghitung hari pelaksanaan Pilkada 2024, upaya penulis menelaah tantangan Pemilihan patut dilakukan.

Tantangan Logistik dan Infrastruktur

Salah satu tantangan terbesar dalam Pilkada serentak 2024 adalah soal logistik dan infrastruktur yang harus mencakup seluruh wilayah Indonesia. Dengan wilayah yang begitu luas dan beragam, terutama di daerah-daerah terpencil dan daerah dengan akses transportasi terbatas, memastikan distribusi suara dan logistik Pemilihan serta penyediaan fasilitas pemungutan suara yang memadai menjadi pekerjaan besar bagi Penyelenggara Pemilihan.

Menurut penelitian dari The Asia Foundation (2020), daerah-daerah dengan infrastruktur yang kurang memadai seringkali mengalami keterlambatan dalam distribusi logistik Pemilu yang berakibat pada ketidakmampuan masyarakat untuk memberikan hak pilih mereka. Hal ini berpotensi menurunkan partisipasi pemilih dan menciptakan ketidakpuasan terhadap hasil Pemilihan.

Meningkatnya Biaya Politik dan Politik Uang

Di banyak daerah, biaya politik dan praktik politik uang tetap menjadi masalah besar dalam Pemilihan Umum, termasuk Pilkada. Meskipun KPU dan Bawaslu telah berupaya memperketat pengawasan, tetapi praktik politik uang masih marak dilakukan terutama di daerah-daerah dengan tingkat kemiskinan yang tinggi.

Kementerian Dalam Negeri (2023) menyatakan bahwa salah satu faktor yang menghambat demokratisasi dalam Pilkada adalah tingginya biaya yang dikeluarkan oleh calon kepala daerah. Hal itulah kemudian mendorong mereka melakukan praktik politik uang demi meraup dukungan sebesar-besarnya untuk memenangkan kontestasi Pemilihan.

Praktik politik uang yang melibatkan pembagian uang atau barang kepada pemilih pada saat Pemilihan sangat jelas merusak integritas Pemilihan. Meskipun sudah ada upaya hukum dan pendidikan bagi pemilih, politik uang tetap menjadi tantangan besar dalam menciptakan Pilkada yang bersih, demokratis dan berkeadilan.

Polarisasi Politik dan Konflik Sosial

Proses Pilkada juga seringkali memunculkan polarisasi politik yang tajam di masyarakat. Kampanye yang mengarah pada hatespeech, fitnah dan politik identitas berbasis agama atau suku untuk meraih suara, tentu berdampak pada terciptanya perpecahan sosial.

Polarisasi ini berpotensi memicu konflik horizontal yang merugikan stabilitas sosial dan politik di daerah. Penyebaran berita bohong (hoax) dan hatespeech melalui media sosial dan platform digital lainnya semakin memperbutuk situasi ini.

Pemerintah dan lembaga terkait perlu lebih agresif dalam menangkal dan menangani hoax serta meningkatkan literasi politik masyarakat agar mereka lebih bijak dalam memilih informasi dan tidak terjebak dalam pusaran politik identitas yang destruktif.

Peningkatan Partisipasi Pemilih

Meskipun Pilkada 2024 dilaksanakan secara serentak, diharapkan dapat meningkatkan partisipasi politik masyarakat. Namun faktanya, partisipasi pemilih di beberapa daerah masih rendah, ibarat kata jauh panggang dari api.

Banyak faktor yang mempengaruhi rendahnya partisipasi. Mulai dari apatisme politik, ketidakpercayaan terhadap penyelenggara Pemilu atau Pemilihan, hingga keterbatasan akses untuk memberikan suara utamanya di daerah-daerah terpencil.

Penelitian dari Indonesia Survey Institute (ISI) pada tahun 2023, menunjukkan bahwa tingkat partisipasi pemilih di daerah dengan pemilih muda cenderung lebih rendah. Oleh karena itu, strategi peningkatan partisipasi pemilih, termasuk pemanfaatan teknologi informasi dan media sosial harus lebih ditingkatkan untuk memastikan hak politik setiap warga negara dapat dipenuhi.

Pengawasan dan Kecurangan Pemilihan

Pengawasan terhadap jalannya Pilkada tetap menjadi tantangan besar, terutama dalam upaya meminimalisasi kecurangan dan manipulasi suara. Praktik kecurangan seperti suara ganda, penggelembungan suara, dan penyalahgunaan data pemilih sering kerap terjadi.

Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada tahun 2023 menyebutkan bahwa meskipun telah ada sistem pengawasan dari KPU dan Bawaslu, banyak pihak yang masih menemukan celah untuk memanipulasi hasil Pemilihan. Penting untuk terus memperkuat kapasitas lembaga pengawas, memberikan pelatihan kepada pengawas Pemilihan, serta meningkatkan kesadaran politik masyarakat untuk melaporkan kecurangan yang terjadi.

Hal ini bertujuan untuk menciptakan proses dan hasil Pemilihan yang lebih adil, transparan dan akuntabel, serta memastikan kualitas pemimpin yang terpilih mengedepankan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi dan kelompok.

Peran Teknologi dalam Pilkada

Teknologi terutama dalam bentuk e-voting dan aplikasi penghitungan suara, menawarkan solusi yang dapat meningkatkan transparansi dan efisiensi pada Pilkada. Namun, penerapan teknologi ini menyimpan tantangan tersendiri seperti keamanan data, perlindungan terhadap serangan cyber, serta kesiapan infrastruktur teknologi yang merata di seluruh wilayah Indonesia.

Berdasarkan kajian Komisi Pemilihan Umum (KPU), implementasi sistem e-voting masih memerlukan uji coba yang matang dan pengawasan yang ketat. Di beberapa negara berkembang yang telah mengimplementasikan e-voting menemui persoalan. Persoalan tersebut diantaranya keamanan data dan potensi manipulasi suara melalui peretasan masih menjadi hal vital yang perlu mendapatkan perhatian serius. 

Untuk itu, sangat penting seluruh elemen secara kolektif, secepatnya melakukan upaya pencegahan dan penanganan agar Pilkada serentak 2024 berjalan dengan kondusif, adil, transparan dan akuntabel sehingga potensi kecurangan dan manipulasi suara dapat diminimalkan menjelang hari pelaksanaan Pilkada serentak 2024 yang dilaksanakan pada 27 November 2024.

*Referensi

Indonesia Survey Institute. (2023). Partisipasi Pemilih Muda dalam Pilkada: Tantangan dan Solusi. ISI

Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia. (2023). Laporan Evaluasi Pilkada 2020 dan Persiapan Pilkada Serentak 2024. Kemendagri

Lembaga Survei Indonesia. (2023). Menghadapi Kecurangan dalam Pilkada: Sebuah Analisis. LSI

The Asia Foundation. (2020). Challenges in the Electoral Logistics: A Case Study of Indonesia's Election System. The Asia Foundation

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun