Perkembangan teknologi terbukti memiliki peran yang amat luar biasa dalam percepatan aktivitas manusia. Sentralisasi berbagai aktivitas yang semula di tangan manusia secara massif bergeser kepada mesin super canggih yang cukup memukau.Â
Hasil produksi secara ekonomis menjadi berlipat ganda karenanya. Tapi di sisi lain, manusia membutuhkan sesuatu yang lebih vital daripada sekedar prestasi teknologi itu sendiri.Â
Inilah yang disebut spiritual, bagian penting sebuah agama. Progresifitas  teknologi yang berujung pada kemakmuran materi pada saat yang sama ternyata turut menggerus aspek spiritual tersebut. Pada tataran inilah agama  perlu memposisikan dirinya secara kontekstual.
Kebutuhan Spiritual
Jika dibaca secara teliti, fenomena kebangkitan agama khususnya di Indonesia, dapat dikatakan belum memberikan efek sosial secara maksimal. Setiap tahun jumlah jamaah haji yang melakukan kunjungan spiritual ke Mekkah semakin meningkat.Â
Aktivitas sakral tersebut merupakan salah satu bentuk fenomena kebangkitan agama. Namun seiring dengan itu, kemiskinan tetap melaju kencang, bahkan lebih cepat. Begitu pula meningkatnya jumlah jamaah yang mengikuti pengajian spiritual, namun ironisnya korupsi tetap berjalan, bahkan mungkin beberapa pelakunya jamaah aktif di pengajian itu.Â
Training-training spiritual juga menyajikan nuansa yang hampir sama, banyak yang menangis ketika sampai pada puncak acara. Namun tangisan itu instan, ketika keluar forum tangisan yang sama tidak bisa dilakukan.
Pemandangan demikian lebih tepat disebut sebagai narsisme spiritual ketimbang kebangkitan agama. Istilah tersebut menunjukkan lahirnya egoisme pribadi dalam jubah agama. Model keberagamaan demikian berakhir dengan jatuh cinta pada diri sendiri secara berlebihan.Â
Kepuasan dalam beragama diekspresikan dengan tangisan yang kuat, atau frekuensi yang meningkat dalam melaksanakan ibadah simbolik semisal haji. Agama hanya berfungsi sebagai sanctuary (tempat pelarian), bukan sumber menyemburnya moralitas dan kebajikan sosial.Â
Seseorang diberikan predikat sosok religius manakala ia tekun dan konsisten melaksanakan rutinitas ritual. Dalam konteks ini, peran agama bergeser dari sebuah institusi pembebas menjadi penjara simbol-simbol. Selama seseorang melaksanakan simbolisme tertentu, sejauh itu pula ia merupakan sosok agamis.
 Tak jarang, dalam situasi seperti ini agama ditumpangi oleh berbagai kepentingan; komoditas ekonomi atau politik. Orang ingin kaya dan mempunyai lompatan politik yang cepat dengan menimang-nimang agama. Yang lebih memprihatinkan, nalar sehat menjadi tumpul.Â
Kesadaran akan aktivitas dan kebajikan sosial, sebagai wujud dari ajaran agama yang cukup bernilai tinggi, terkalahkan oleh kepuasan individual. Makanya, sekali orang menunaikan haji, ia ingin melakukannya lagi, meskipun harus menutup mata terhadap berbagai ketimpangan.Â
Islam yang ia anut akan terasa semakin sempurna dengan haji beberapa kali itu, tanpa memikirkan nasib orang-orang miskin, anak-anak yatim, para pegawai maupun pembantunya yang digaji amat rendah.Â
Dan yang aneh, terkadang dana haji itu diambil dari mega korupsi maupun kolusi. Dosa sosial diyakini akan terhapus dengan haji, umroh, shalat khusyu' maupun berdo'a di tempat-tempat khusus.
Agama narsistik berujung pada pemenuhan kebutuhan individual. Seorang narsistik akan menunjukkan perilaku self-centered, semua untuk kepentingan dirinya. Spencer A. Rathus dan Jeffrey S Nevid dalam bukunya, "Abnormal Psychology (2000)", menjelaskan bahwa perilaku narsistik memandang dirinya dengan cara yang amat berlebihan.Â
Sedangkan Erich Fromm memperkuat kesimpulan itu dengan menyatakan bahwa perilaku narsistik mengembalikan kesenangan untuk dirinya dan mengabaikan yang lain. Ketika orang di luar dirinya menjadi sebuah ancaman, maka ia mesti "dibersihkan". Dan yang memilukan, seorang narsistik sebenarnya mengalami gangguan kejiwaan (mental disorder).
Doktrin Islam mengajarkan bahwa seorang Muslim harus memiliki sandaran vertikal dan relasi horizontal. Dalam bahasa yang lebih familiar disebut hablumminallaah dan hablumminannaas (Q.S. Ali-Imraan/ 3: 112). Rasulullah sendiri menegaskan bahwa keutamaan manusia dapat dinilai dari puasa sunnah, mengunjungi orang sakit, memberi makan orang miskin dan mengantar jenazah.Â
Hadis ini menegaskan bahwa egoisme spiritual tidak mendapatkan tempat, kecuali keislaman yang memancarkan kejernihan batin dan pencerahan sosial. Dalam hadis lain ditegaskan, pelindung seorang hamba di akhirat kelak lahir dari hasil sedekahnya.
 Inilah kekuatan Islam, agama yang membebaskan tidak hanya secara spiritual tapi juga material. Agama narsistik sebagai pilihan yang galau, dapat diluruskan menjadi agama yang penuh cinta tidak hanya kepada dirinya, tapi juga orang lain.
Para tokoh agama, pendidik, pemuka masyarakat, tanpa disadari terkadang menjadi "dalang" dalam penyebaran agama narsistik ini.Â
Dengan pemahaman  sederhana, mereka mengajak siapa saja untuk mendalami agama pada aspek tertentu, tanpa diimbangi aspek-aspek lain. Agama narsistik telah menjadi budaya tersendiri dan dapat merebut alam bawah sadar masyarakat.
 Konsekuensinya, gempita selebrasi simbolisme keagamaan tidak serta merta melahirkan keadilan sosial.Â
Bahkan mungkin sebaliknya, nuansa keagamaan tersebut hanya menimbulkan kebencian, iri hati, ajang show off, atau cadar untuk menutupi berbagai aib sosial. Inilah disfungsi agama yang seharusnya tidak terjadi. Karenanya, perlu dilakukan refleksi ulang atas berbagai aktivitas keagamaan setiap kita.
Pesan yang Mencerahkan
Sudah semestinya, Islam kita bawa dalam ranah historis. Agama ini dihadirkan untuk menjadi institusi penyelamat. Penganutnya demikian pula, penyelamat manusia lainnya. Â
Bukankah Rasulullah diutus untuk menjadi rahmat bagi sekalian alam (rahmatan li al-'alamin)? Seorang Muslim yang baik tidak hanya dilihat dari ketekunannya menjalankan serentetan ritual dari waktu ke waktu.Â
Melainkan bagaimana orang bisa makan dengan kedermawanannya, atau orang merasa bahagia dengan eksistensi dirinya. Dengan demikian, jatuh cinta secara berlebihan kepada diri sendiri tidak mendapatkan akarnya.Â
Agama narsistik dimana seseorang memfokuskan cinta hanya untuk dirinya ternyata bertentangan dengan Islam. Agama suci ini mengajarkan bahwa cinta kepada Allah dapat diwujudkan dengan mencintai sesama. Wallaahu a'lam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H