Kesadaran akan aktivitas dan kebajikan sosial, sebagai wujud dari ajaran agama yang cukup bernilai tinggi, terkalahkan oleh kepuasan individual. Makanya, sekali orang menunaikan haji, ia ingin melakukannya lagi, meskipun harus menutup mata terhadap berbagai ketimpangan.Â
Islam yang ia anut akan terasa semakin sempurna dengan haji beberapa kali itu, tanpa memikirkan nasib orang-orang miskin, anak-anak yatim, para pegawai maupun pembantunya yang digaji amat rendah.Â
Dan yang aneh, terkadang dana haji itu diambil dari mega korupsi maupun kolusi. Dosa sosial diyakini akan terhapus dengan haji, umroh, shalat khusyu' maupun berdo'a di tempat-tempat khusus.
Agama narsistik berujung pada pemenuhan kebutuhan individual. Seorang narsistik akan menunjukkan perilaku self-centered, semua untuk kepentingan dirinya. Spencer A. Rathus dan Jeffrey S Nevid dalam bukunya, "Abnormal Psychology (2000)", menjelaskan bahwa perilaku narsistik memandang dirinya dengan cara yang amat berlebihan.Â
Sedangkan Erich Fromm memperkuat kesimpulan itu dengan menyatakan bahwa perilaku narsistik mengembalikan kesenangan untuk dirinya dan mengabaikan yang lain. Ketika orang di luar dirinya menjadi sebuah ancaman, maka ia mesti "dibersihkan". Dan yang memilukan, seorang narsistik sebenarnya mengalami gangguan kejiwaan (mental disorder).
Doktrin Islam mengajarkan bahwa seorang Muslim harus memiliki sandaran vertikal dan relasi horizontal. Dalam bahasa yang lebih familiar disebut hablumminallaah dan hablumminannaas (Q.S. Ali-Imraan/ 3: 112). Rasulullah sendiri menegaskan bahwa keutamaan manusia dapat dinilai dari puasa sunnah, mengunjungi orang sakit, memberi makan orang miskin dan mengantar jenazah.Â
Hadis ini menegaskan bahwa egoisme spiritual tidak mendapatkan tempat, kecuali keislaman yang memancarkan kejernihan batin dan pencerahan sosial. Dalam hadis lain ditegaskan, pelindung seorang hamba di akhirat kelak lahir dari hasil sedekahnya.
 Inilah kekuatan Islam, agama yang membebaskan tidak hanya secara spiritual tapi juga material. Agama narsistik sebagai pilihan yang galau, dapat diluruskan menjadi agama yang penuh cinta tidak hanya kepada dirinya, tapi juga orang lain.
Para tokoh agama, pendidik, pemuka masyarakat, tanpa disadari terkadang menjadi "dalang" dalam penyebaran agama narsistik ini.Â
Dengan pemahaman  sederhana, mereka mengajak siapa saja untuk mendalami agama pada aspek tertentu, tanpa diimbangi aspek-aspek lain. Agama narsistik telah menjadi budaya tersendiri dan dapat merebut alam bawah sadar masyarakat.
 Konsekuensinya, gempita selebrasi simbolisme keagamaan tidak serta merta melahirkan keadilan sosial.Â