Mohon tunggu...
Muhammad Prayudha
Muhammad Prayudha Mohon Tunggu... Administrasi - Mahasiswa S1 Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara

Wakil Komisaris Bidang Organisasi Komisariat GMNI UMSU 2019-2020

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Benarkah, Pendidikan Saat Ini Bervisi Kerakyata? Saya Katakan Tidak!

21 November 2020   13:46 Diperbarui: 21 November 2020   13:49 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Misi besar Indonesia kita sama-sama tau, untuk membentuk SDM-nya yang dimana “Mencerdaskan Bangsa” karena dalam mencerdaskan bangsa merupakan bagian pokok terpenting untuk menciptakan manusia-manusia secara individual yang merdeka, manusia yang tidak merasa terasingkan oleh dirinya, baik lingkungan dan hasil manusia-nya yang memiliki kesadaran penuh untuk mengembangkan kepribadian dengan penalaran yang cerah. Suatu misi yang sangat ideal dan identik dari pendidikan di Indonesia, tetapi entah mengapa, pendidikan kita saat ini seakan menjadi tidak bermakna untuk itu dalam arti “MENCERDASKAN” sebagaimana mestinya Sustainable Country Goal’s dan nilailah sekarang sepertinya menyimpang kearah yang berlawanan.

Pasal 31 Ayat 1 UUD 1945 menjadi acuan kita dalam Hak untuk mendapatkan Pendidikan, yang dimana berbunyi : Setiap warga Negara berhak mendapatkan pendidikan

Pendidikan Semestinya Bervisi Kerakyatan

Pendidikan bagian pokok terpenting bagi rakyat, bangsa Indonesia dalam arti pentingnya sebagai sendi - sendi tumpu untuk kaki dan tangan, berdiri dan memegang, analogi sederhana saya gambarkan dan tidak berjelimet dengan peraturan-peraturan yang ada. Jika saya nanti diberikan umur yang panjang dan rezeki oleh tuhan, insya Allah atas rahmat Tuhan Yang Maha Esa, saya akan terus belajar. Seperti itulah niat dalam hati saya yang tidak berbunyi.

Tanpa saya curhat - curat panjang dan lebar, saya ingin pembaca juga menggali makna dari Pasal 31 Ayat 1 UUD 1945 bernahkah Setiap warga Negara kita saat ini mendapatkan pendidikan menyeluruh? Saya katakan TIDAK. Sebab pasal yang menjadi acuan saya penulis saat ini “Visi-nya Kerakyatan”, tetapi ini tidak. Dimana saat ini kaum - kaum yang mengalami krisis financial tidak dapat menerima pendidikan yang penuh atau tidak sama sekali. 

Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sidiknas) mengacu juga bahwa Warga Negara berhak ataas kesempatan yang seluas-luasnya untuk mendapatkan pendidikan. Petanyaan dikepala saya juga muncul, “Sudah meratakah pendidikan saat ini?, Bagaimana juga dengan biaya wajib yang sudah membumbung tinggi saat ini?”. 

 

Terkapitalisasi-nya Akses Pendidikan

Kesadaran rakyat diciptakan oleh rakyatnya sendiri, rakyatlah yang menciptkan kesadaran-kesadaran individu. Didalam kondisi rakyat Indonesia kita memahami pendidikan Institusional, bahwa kecerdasan yang otodidak sedikit mendapat tempat dalam struktur. Penempatan pendidikan, dalam pandangan mereka (rakyat) yang lebih menghargai gelar, walaupun tidak memiliki makna kesejatian intelektual-nya. Intitusional memproduksi gelar sebagai alat untuk mencapai mobilitas kultur sosial dalam masyarakat, dapat diartikan juga dunia pendidikan sebagai bentuk tittel identifikasi individu yang menjadi bagian dari kelaster-kelaster dikalangan masyarakat. Sebuah pandangan tentang tittel tittel menjadi alat sosial dan dimanfaatkan oleh para agen capital (pemodal). Krisis pendidikan semakin parah, penyimpangan cita-cita mulia kemerdakaan berangkat dari belenggu kediktatoran. Biang dari krisis pendidikan, dari kediktatoran yang mengadopsi sistem pasar dan konsep efesiensi privat intitusi pendidikan bersifat public, bahan kotor yang disajikan kepada rakyat.

Sistem pasar didunia pendidikan merupakan pelecehan konstitusi yang menempatkan negara yang berkewajiban mencerdaskan kehidupan bangsanya. Dan penghayatan terhadap totalitas konstitusi yang dirumuskan oleh para pendiri bangsa, konstruksi sosial masyarakat yang sudah terkapitalisasi, dan ketidakcukupan pemaknaan yang lebih tegas, yang banyak melahirkan peraturan dan perundang-undangan yang membawa ideologi yang sama sekali tidak dikehendaki oleh pendiri bangsa ini.

Didalam konstitusi mengamanatkan dengan jelas alokasi anggaran untuk pendidikan, masih banyak dimaklumi pemunduran penerapannya. Bahkan ketika kesempatan itu ada, maka implementasi alokasi anggaran masih serabutan dan tidak jelas arahnya. Ideologi dasar sistem pendidikan Indonesia saat ini tak lain adalah ideologi neoliberal murni, meski masih dibatasi oleh kondisi sosial. Artinya kerangka dasar sistem pendidikan Indonesia adalah ideologi neoliberal dengan penyesuaian-penyesuaian kecil yang terlihat peduli pada hak-hak dan beban sosial masyarakat. Jadi perhatian pada hak rakyat atas pendidikan hanya ditempatkan sebagai kendala, yang dipenuhi agar sistem utama dapat berjalan. Dalam sistem seperti ini pendidikan ditempatkan sebagai komoditas, peranan pemerintah dimimalisasi dengan berfokus pada kontrol kurikulum dan standar-nya saja, melakukan desentralisasi kepada pemerintah daerah atau dengan kata lain negara melempar kewajibannya pada entitas politik lokal. Guru, dosen, dan siswa/i, mahasiswa/i (civitas akademik) dininabobokkan untuk degradasi kualitas rendah. Indikasi ini dilihat pada semua level pendidikan dari tingkat dasar, sampai pendidikan tinggi. Pada sekolah dasar, menengah, akhir, sampai perguruan tinggi kesenjangan pada akses pendidikan di negeri sendiri sangatlah tinggi. Ada institusi yang kaya dan ada sekolah yang miskin. Status institusi menjadi tergantung kondisi sosial ekonomi.

Institusi pendidikan didesain agar berpikir dan bergerak secara swasta, dengan sebuah asumsi dasar swasta selalu lebih baik dari publik atau pemerintah. Universitas didorong menjadi entrepreneurial university sehingga PT (Perguruan Tinggi) berperilaku seperti PT (Perseroan Terbatas). Logika pasar benar-benar merebah-luas. Perguruan Tinggi pun sekarang mengejar kelasnya menjadi berkelas dunia (world class university) dari pada berusaha menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi bangsa sendiri, perguruan tinggi mengikuti arus globalisasi dengan mengacu pada standar-standar internasional yang belum tentu sesuai dengan kebutuhan bangsa sendiri.

Tandingan Logika Pasar Institusi

Pendidikan menjadi sasaran pertama untuk melanjutkan perjuangan. Sebuah usaha untuk menunjukkan bahwa perjuangan rakyat hanya mampu dari kesadaran rakyat, didikan kerakyatan juga. Pendidikan dan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan, peletak dipola kepala saya. Sebaiknya di Zaman yang penuh dengan Logika Pasar, dikepala saya meletak pola kritis untuk menandingkan institusi yang memakai logika pasar, yang tujuannya dari pemodal dan kembali ke pemodal.

“Akuilah dengan hati yang putih bersih, bahwa kamu sanggup dan mesti belajar dari orang Barat. Tapi kamu jangan sampai jadi peniru Barat. Melainkan seorang murid dari Timur yang cerdas, suka memenuhi kemauan alam dan seterusnya dapat melebihi kepintaran guru-gurunya di Barat” – Tan Malaka

Didalam buku (Tan Malaka dengan judul Serikat Islam Semarang dan Onderwijs) Riatno menerangkan dalam essainya bahwa Tan Malaka beserta kawan-kawan menjadi pioneer dalam merebut Pendidikan Transformatif ini dengan jalan antikolonialisme, menjadi nalar kritis. Pedagogik transformatif/nalar kritis bentuk untuk mencari jalan hidup ditengah kemelaratan, kegelapan, serta kelaliman dan jiwa jiwa perbudakan.

Di zaman logika pasar Institusi sekarang ini, peserta didikannya dijadikan budak-budak dengan pencetakan sistem pendidikan yang mengadopsi. Mengapa demikian? Didalam dunia pendidikan kemodalan tiada yang mempunyai Nurani satu sama lain. Kalaulah pemuda-pemuda yang terpelajar haruslah berpikir bagaimana agar mengubah kondisi sosial ekonomi masyarakat. Dan yang mengakar dapat mengubah kondisi institusi pendidikan yang telah memakai logika pasar, dengan nalar kritis pendidikan kebutuhan rakyat.

Merdeka !

Merdeka !!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun