Pemahaman tentang permasalahan yang ada pada petani yang dihadapinya juga selalu terkesan monoton, klise dan klasik yang merupakan kausalitas terlalu amat panjang dan tidak terselesaikan sampai saat ini. Sungguh miris nasib petani dinegeriku yang agraris ini.Â
Resolusi yang menyangkut untuk kesejahteraan petani selalu terpanjatkan pada hadirat kuasa pengelola negeri. Tapi seakan asa dan tekad tidak bergeming, tetap saja khalayak lahan petani kita di nusantara ini terdegradasi. Bahkan, harga komoditi naik sekalipun dan petani masih di posisi yang dirugikan dan buntung.Â
Generasi muda sekarang enggan turun ke sawah atau berkebun, karena profesi petani tidak prestisius, hingga regenerasi petani terus tergerus oleh pembangunan yang timpang antara desa dan kota. Bahkan, profesi petani yang sering dianggap buruh atau kuli, tanpa disadari betapa mulianya profesi yang zakatnya lebih besar dari orang kantoran yang berjas dan berdasi.
Momentum Hari Tani Nasional memanggil jiwa dan raga untuk bangkit serta berdiri bersama petani. Mulailah menghargai jati diri kita sebagai manusia yang tinggal dinegeri agraris.Â
Jika Thailand berani untuk mengklaim sebagai kitchen of the world (dapur dari dunia). Mengapa kita ragu untuk mengklaim bahwa Indonesia sebagai excellent barn of the world "lumbung primadona dari dunia". Â
Tuhan telah menganugrahkan negeri ini tanah yang subur, kaya dan sumber daya alamnya melimpah. Â Namun, hal itu hanya dapat kita sebutkan saja tidak dapat kita adobsi sebagai mendorong semangat gotong royong untuk kedaulatan pangan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H