Mohon tunggu...
Muhammad Prayudha
Muhammad Prayudha Mohon Tunggu... Administrasi - Mahasiswa S1 Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara

Wakil Komisaris Bidang Organisasi Komisariat GMNI UMSU 2019-2020

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Hari Tani, Alat Dukung Kedaulatan Pangan

24 September 2020   16:20 Diperbarui: 24 September 2020   16:23 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Petani adalah orang yang dibutuhkan dalam songgok pembangunan peradaban masyarakat di Negeri ini. Negeri Republik Indonesia dijuluki sebagai negara agraris yang menompang harap harapan penuh dari bangsanya. 

Hari Tani Nasional juga merupakan simbolik peringatan darurat bahwa urusan atas hak tanah rakyat untuk bertani, tidak didorong untuk menuju kedaulatan pangan nasional. Namun, dasar hukum yang ada pada Undang-Undang Dasar Pasar 33 Ayat 3 tidak berpihak pada rakyat kecil yang berprofesi sebagai petani.

Sejarah Hari Tani Nasional
Pada kelahiran UUPA melewati proses panjang, selama 12 tahun lamanya. Dimulai dari pembentukan Panitia Agraria Yogya di Tahun 1948, Panitia Agraria Jakarta di Tahun 1951, Panitia Soewahjo di Tahun 1955, Panitia Negara Urusan Agraria di Tahun 1956, Rancangan Soenarjo di Tahun 1958, Rancangan Sadjarwo di Taun 1960, akhirnya dibedah dan diterima bulat Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) waktu itu. Kala itu dipimpin Haji Zainul Arifin. 

Kelahiran UUPA mengandung dua makna besar bagi kehidupan bangsa dan negara Indonesia:

  1. UUPA bermakna sebagai upaya mewujudkan amanat Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945 (di dalam naskah asli), yang menyebutkan Bahwa “Bumi dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan digunakan untuk  kemakmuran rakyatnya”. 
  2. UUPA bermakna sebagai penjungkirbalikan hukum agraria kolonial dan penemuan hukum agraria nasional yang bersendikan realitas susunan kehidupan rakyatnya.

Hari Tani Nasional sebuah Momentum Nasionalime yang telah peringatin sejak 24 september 1963 dan dalam keputusan Presiden Republik Indonesia, No. 169 tahun 1963, bertepatan dengan pengesahaan UUPA (Undang Undang dasa Pokok-pokok Agraria) Tahun 1960. 

Hari Tani diperingati sebagai simbol rakyat untuk memberikan peringatan untuk pemerintah, dimana tugas dan fungsi untuk mengatur akan perombakan status agraria/lahan yang timpang dan sarat. 

UUPA 1960 sendiri sebagai spirit dasar perjuangan kebijakan hukum yang mengarah pada bidang agraria/lahan dalam usaha mengurus dan membagi tanah, sumber daya alam lainnya yang terkandung didalamnya untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyat sepenuhnya.

Maju, Mundur dan Mandeknya cita-cita kemerdekaan nasional, demokrasi, kemakmuran rakyat, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sangat dipengaruhi sejauh mana pemerintah mampu menyelenggarakan reforma agraria sejati. 

Enam Dasawarsa
Hari lahirnya Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) 60 tahun silam atau tepatnya pada 1960. Menjadi Momentum peringatan bagi kita semua agar menyadari, betapa pentingnya peran petani. Hak-hak atas mereka yang belum terealisasi dengan baik, apalagi sejahtera, mengingat rintihan penderitaan petani selalu terdengar dari pelosok-pelosok nusantara. 

Rintihan yang mungkin sulit dipahami oleh para kaum elite kolonial, borjuis, bahkan oleh pihak pemangku kuasa jabatan tinggi hingga peramu jamu kebijakan, seharusnya mewakili aspirasi yang lahir dari penderitaan petani.

Melihat kondisi petani saat ini tidaklah mengalami dampak yang signifikan terhadap perubahan sosial, ekonomi dan budaya menuju kearah yang gemilang untuk menjayakan keadaan petani saat ini. Kualitas sumber daya manusia bagi petani yang dominan tidak paham kebijakan prioritas atas hak menyangkut nasib mereka atau isu strategis diplosok-plosok nusantara. 

Pemahaman tentang permasalahan yang ada pada petani yang dihadapinya juga selalu terkesan monoton, klise dan klasik yang merupakan kausalitas terlalu amat panjang dan tidak terselesaikan sampai saat ini. Sungguh miris nasib petani dinegeriku yang agraris ini. 

Resolusi yang menyangkut untuk kesejahteraan petani selalu terpanjatkan pada hadirat kuasa pengelola negeri. Tapi seakan asa dan tekad tidak bergeming, tetap saja khalayak lahan petani kita di nusantara ini terdegradasi. Bahkan, harga komoditi naik sekalipun dan petani masih di posisi yang dirugikan dan buntung. 

Generasi muda sekarang enggan turun ke sawah atau berkebun, karena profesi petani tidak prestisius, hingga regenerasi petani terus tergerus oleh pembangunan yang timpang antara desa dan kota. Bahkan, profesi petani yang sering dianggap buruh atau kuli, tanpa disadari betapa mulianya profesi yang zakatnya lebih besar dari orang kantoran yang berjas dan berdasi.

Momentum Hari Tani Nasional memanggil jiwa dan raga untuk bangkit serta berdiri bersama petani. Mulailah menghargai jati diri kita sebagai manusia yang tinggal dinegeri agraris. 

Jika Thailand berani untuk mengklaim sebagai kitchen of the world (dapur dari dunia). Mengapa kita ragu untuk mengklaim bahwa Indonesia sebagai excellent barn of the world "lumbung primadona dari dunia".  

Tuhan telah menganugrahkan negeri ini tanah yang subur, kaya dan sumber daya alamnya melimpah.  Namun, hal itu hanya dapat kita sebutkan saja tidak dapat kita adobsi sebagai mendorong semangat gotong royong untuk kedaulatan pangan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun