Pada masa perjuangan, etnis Tionghoa ikut serta dalam melawan para penjajah dalam serangkaian agresi militer oleh Inggris dan NICA, dimana orang Tionghoa mereka sudah sepenuhnya memihak pada Indonesia untuk meraih kemerdekaan.
Pasca tragedi G30SPKI 1965, etnis Tionghoa mendapat stigma negatif dari masyarakat sehingga mereka mendapat keterbatasan sosialisasi, kesenian, dan peribadatan di Klenteng, setelah keluarnya Inpres No.14/1967. Yang berdampak besar pada masyarakat Tionghoa.
Selanjutnya saat kerusuhan 1998 yang terjadi di berbagai wilayah di Indonesia, dimana etnis Tionghoa menjadi sasaran dari kerusuhan tersebut yang membuat banyak orang Tionghoa kehilangan harta benda dalam tragedi tersebut.
Pasca reformasi, tepatnya saat Abdurrahman Wahid menjabat sebagai presiden, Inpres No.14/1967. Resmi dicabut yang mengakhiri pengekangan sosial bagi etnis Tionghoa dalam menjalani kehidupan mereka..
 Peninggalan Historis
Selain berdampak dalam menggerakkan roda perekonomian di Surabaya, Pecinan juga menyuguhkan tempat-tempat peninggalan historis, diantaranya adalah peninggalan bangunan tua yang ada di Jalan Karet dan Jalan Gula, Klenteng Boen Bio, Klenteng Hong Tiek Hian, dan Restoran Kiet Wan Kie, dan masih banyak lagi.
Upaya Revitalisasi Daerah Pecinan
Upaya yang dapat kita lakukan untuk menjaga keberlanjutan Pecinan yang ada di Surabaya khususnya di Kembang Jepun, diantaranya adalah.
1.Membangun atau menjadikan suatu bangunan menjadi sebuah museum yang digunakan untuk menampung dan mempublikasikan mengenai sejarah pecinan.
2.Memanfaatkan media sosial sebagai media promosi mengenai wisata historis yang ada di Pecinan. Dapat berupa video tour, narasi, dan lainnya.
3.Mengadakan suatu pertunjukan atau festival kebudayaan tonghoa, sehingga masyarakat umum dapat datang dan melihat tentang kebudayaan dan sejarah Pecinan di Surabaya