Mohon tunggu...
muhammad nuralawi
muhammad nuralawi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Airlangga

Mahasiswa Kedokteran hewan Universitas Airlangga

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Perkembangan Pecinan di Surabaya

7 November 2024   15:03 Diperbarui: 2 Desember 2024   17:44 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Sebab mobilitas mereka yang terbatas, akibat adanya kebijakan Passensteltel, dimana masyarakat Tionghoa diwajibkan membawa kartu pass setiap keluar kawasan mereka. Sehingga membuat masyarakat Tionghoa lebih memaksimalkan potensi kawasan mereka sendiri sebagai sumber kehidupan. Kawasan pecinan Kembang Jepun sendiri mengalami perkembangan wilayah pemukiman, perdagangan, dan jaringan jalan pada tahun 1825, kawasan pecinan melebar ke Timur (Jalan Kembang Jepun, Jalan Gula, Jalan Coklat, Jalan Selompretan, Jalan Bibis, dan Jalan Kapasan).

Migrasi Etnis Tionghoa

Pada awal abad ke-19 sampai ke-20 populasi imigran Tionghoa di Surabaya mengalami peningkatan, hal ini didasari oleh beberapa faktor seperti.

1.Berhentinya pertanian di akhir masa pemerintahan dinasti Qing, yang menyebabkan banyak orang Tionghoa yang pergi merantau ke Hindia Belanda khususnya Surabaya untuk mengadu nasib.

2.Terjadinya pembunuhan besar-besaran terhadap etnis Tionghoa di Batavia kala itu, yang menyebabkan banyak orang Tionghoa yang mengungsi ke Surabaya.

 Perkembangan

Jalan Kembang Jepun pada masa Hindia Belanda dulunya bernama Handelstaat yang terdiri dari dua kata yakni Handel yang berarti perdagangan, dan Strata yang berarti jalan. Penamaan ini sendiri dikarenakan perkembangan daerah tersebut yang sangat pesat dan dinamis setelah etnis Tionghoa lebih memusatkan aktivitas perdagangan di kawasan mereka sendiri, menjadikan Jalan Kembang Jepun sebagai pusat perdagangan pada kala itu, sehingga pemerintah Hindia Belanda menamainya Hendelstraat yang berarti jalan perdagangan sebagai banyak etnis Tionghoa yang membuka toko dan usahanya di kawasan tersebut.

Setelah kedatangan jepang, kebijakan Wijkenstelsel dihapuskan dan masyarakat Tionghoa diperbolehkan berpergian tanpa membawa kartu pass Passensteltel. Namun di sisi lain pihak Jepang mulai menjalankan propagandanya diantaranya memalui poster, bioskop, dan radio. Ditambah para etnis Tionghoa dituntut untuk menjadi Kokyo Keibotai dan dan para perempuan menjadi penghibur tentara Jepang.

Nama Jalan Kembang Jepun sendiri mulai dikenal pada masa kependudukan jepang di Indonesia, khususnya di Surabaya. Penamaan ini diambil karena pada saat itu banyak serdadu tentara Jepang (Jepun) yang memiliki teman-teman wanita (Kembang) disana. Kehadiran pelacur sendiri di kawasan Kembang Jepun menjadi hal yang wajar kala itu, bahkan ada beberapa pelacur yang didatangkan dari Jepang yang diberi nama Karayuki-san.

Karayuki-san sendiri adalah para gadis muda dari daerah pertanian miskin di jepang yang diperdagangkan sebagai komoditas pemuas lelaki di sepanjang Asia Timur, Asia Tenggara, dan tempat lainnya. Hal ini sudah ada saat masa Hindia Belanda lebih tepatnya bermula saat Restorasi Meiji berlangsung, dimana banyak warga Jepang yang pergi keluar dari Jepang setelah dibukanya akses untuk berpergian keluar negeri setelah runtuhnya Kekaisaran Tokugawa.

Peranan dan Tragedi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun