Perkembangan Kampung Pecinan di Surabaya
Oleh : Muhammad Nur Alawi (161241287)
Pendahuluan
Latar Belakang
Kota Surabaya sebagai ibukota di Jawa Timur adalah kedua terpadat di indonesia. Lokasinya yang strategis dan kemudahan akses menjadikan Surabaya sebagai kota dagang dan pelabuhan sejak zaman Hindia Beland
a. Salah satu ras yang memegang peranan penting dalam menggerakkan roda perekonomian di Surabaya adalah masyarakat Tionghoa, yang menghuni kampung Pecinan yang tersebar dibanyak lokasi, diantaranya ada di Jalan Karet, Kapasan, dan Kembang Jepun.Â
Masyarakat Tionghoa yang mayoritasnya membuka toko dan berjualan berbagai macam hal, mulai dari komoditas bahan pokok sampai obat-obatan. Hal ini menjadikan mereka sebagai penggerak roda perekonomian di Surabaya, sehingga perlu kita perhatikan daerah pecinan, khususnya dari segi historis.
Pada makalah kali ini saya akan lebih menfokuskan pembahasan saya di daerah pecinaan khususnya di Jalan Kembang Jepun yang dulu dikenal dengan Handelstraat saat masa Hindia Belanda, yang memiliki arti jalan perdagangan. Selain karena nilai historis, namun juga sebab potensinya yang dimilikinya, sehingga sayang bila hanya mengkaji secara historis saja dan mengabaikan akan potensinya sebagai tempat tujuan wisata. Jadi pembahasan ini juga akan menyinggung mengenai revitalisasi daerah pecinan khususnya yang ada di Jalan Kembang Jepun.
Pembahasan
 Sejarah
Pada awalnya daerah pecinan terbentuk akibat adanya kebijakan Wijkenstelsel dengan konsep Beneden Stad, dimana setiap ras akan dibagikan wilayah berdasarkan rasnya sendiri, diantaranya seperti ras Arab yang menghuni daerah Ampel, ras Eropa yang tersebar di beberapa lokasi, dan ras Tionghoa yang menghuni daerah seperti Kapasan dan Kembang Jepun. Kebijakan ini tidak hanya menggelompokan masyarakat berdasarkan rasnya, namun kebijakan ini juga mengguntungkan untuk Pemerintah Hindia Belanda sebab mereka bisa memonopoli tempat-tempat strategis di kota Surabaya dengan menggusur para pribumi dan menggelompokan masyarakat asing dengan sesama rasnya, hal ini bertujuan untuk mempersempit interaksi antar ras, sehingga mobilitas mereka menyempit mengakibatkan makin mudahnya mereka untuk diadu domba oleh pemerintah Hindia Belanda.