pada hari itu,
awan berkumpul menutupi langit dan bulan sabit,
aku datang menemuinya yang sedang menjerit
melihat ia yang terbaring lesu dan tak kunjung bangkit,
aku hanya bisa mengangkat tangan dan menengadah langit
berharap Tuhan menghilangkan darinya rasa sakit.
aku terus menemani ia
sambil berharap dia membuka matanya,
walau tak kuasa melihat apa yang ia derita.
sesekali air mataku jatuh mengenai tangan lembutnya.
matahari mulai tenggelam,
terlihat indah cahaya, mega merah.
menunjukkan ku harus kembali ke rumah.
karena hari esok aku harus bersekolah.
walau terdapat Ayahku yang akan menemaninya.
dengan berat hati, aku kembali meninggalkannya .
aku berbaring bersama adik-adikku di kamar yang sama.
aku mencoba menenangkan mereka.
bahwa ia akan baik-baik saja.
walaupun hati sungguh berbeda dengan yang dikata. beribu kali mencoba menutup mata. tetapi hasilnya tetap sama.
rasa cemas dan takut mengganggu tidurku,
sampai tengah hari pada malam itu.
suara mobil ambulance dan motor seperti menuju rumahku.
ia hampir membangunkan semua orang di kampungku.
jantungku sungguh berdetak kencang.
saat suara-suara itu berhenti di depan rumahku.
adik-adikku terbangun dan kami keluar membuka pintu.
orang-orang mulai menangis tersedu-sedu,
aku sungguh tak percaya melihat mayat itu.
aku masih berharap itu bukan ibuku.
memang benar, setiap orang dikalahkan oleh pikiran; itulah mengapa manusia memiliki begitu banyak sakit hati dan kesedihan, sebut Rumi.
ayahku datang memelukku dan adik-adikku.
ia mencoba menenangkan dan menguatkan kami yang berdiri lesu,
lalu menyuruh kami bersiap-siap memandikannya untuk pertama dan terakhir kalinya.
air mata jatuh bersamaan dengan air yang kami sirami di sekujur tubuhnya.
aku sungguh tak kuat melihat adik-adikku menangis dengan kerasnya.
ibu telah hilang dari penglihatanku.