Mohon tunggu...
Muhammad Nur
Muhammad Nur Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Sedang belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Jagat Cinta

30 Maret 2023   13:41 Diperbarui: 30 Maret 2023   13:41 875
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

pada hari itu,
awan berkumpul menutupi langit dan bulan sabit,
aku datang menemuinya yang sedang menjerit
melihat ia yang terbaring lesu dan tak kunjung bangkit,
aku hanya bisa mengangkat tangan dan menengadah langit
berharap Tuhan menghilangkan darinya rasa sakit.

aku terus menemani ia
sambil berharap dia membuka matanya,
walau tak kuasa melihat apa yang ia derita.
sesekali air mataku jatuh mengenai tangan lembutnya.

matahari mulai tenggelam,
terlihat indah cahaya, mega merah.
menunjukkan ku harus kembali ke rumah.
karena hari esok aku harus bersekolah.
walau terdapat Ayahku yang akan menemaninya.
dengan berat hati, aku kembali meninggalkannya .

aku berbaring bersama adik-adikku di kamar yang sama.
aku mencoba menenangkan mereka.
bahwa ia akan baik-baik saja.

walaupun hati sungguh berbeda dengan yang dikata. beribu kali mencoba menutup mata. tetapi hasilnya tetap sama.

rasa cemas dan takut mengganggu tidurku,
sampai tengah hari pada malam itu.

suara mobil ambulance dan motor seperti menuju rumahku.
ia hampir membangunkan semua orang di kampungku.

jantungku sungguh berdetak kencang.
saat suara-suara itu berhenti di depan rumahku.
adik-adikku terbangun dan kami keluar membuka pintu.
orang-orang mulai menangis tersedu-sedu,
aku sungguh tak percaya melihat mayat itu.
aku masih berharap itu bukan ibuku.

memang benar, setiap orang dikalahkan oleh pikiran; itulah mengapa manusia memiliki begitu banyak sakit hati dan kesedihan, sebut Rumi.

ayahku datang memelukku dan adik-adikku.
ia mencoba menenangkan dan menguatkan kami yang berdiri lesu,
lalu menyuruh kami bersiap-siap memandikannya untuk pertama dan terakhir kalinya.
air mata jatuh bersamaan dengan air yang kami sirami di sekujur tubuhnya.
aku sungguh tak kuat melihat adik-adikku menangis dengan kerasnya.

ibu telah hilang dari penglihatanku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun