Identitas Buku
Judul buku: Muslimah Feminis: Penjelajahan Multi Identitas
Penulis: Neng Dara Affiah
Tahun terbit: 2009
Penerbit: Nalar
1) METODOLOGI BIOGRAFI
Buku yang berjudul “Muslimah Feminis: Penjelajahan Multi-identitas” adalah salah dari sekian buku yang ditulis oleh Neng Dara Afifah seorang wanita hebat yang menjadi Komisioner dan Ketua Sub Komisi Pendidikan dan Litbang Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan).
Penulis sendiri objektif dan dalam jenis penelitiannya memiliki sebuah metode biografi yang dimana salah satu bentuk studi biografi yang disebut autobiografi.
Buku ini memaparkan bagaimana perjalanan hidupnya menjadi apa yang beliau inginkan. Diawali dengan lingkungan keluarganya yang erat dengan pemikiran patriarki.
Ayah beliau merupakan seorang ulama semakin menambah erat budaya patriarki tersebut. Hal tersebut yang menjadi kendala penulis untuk menentang budaya patriarki di lingkungan keluarganya.
Beruntungnya beliau ketika menemukan pasangan yang tidak menganut budaya patriarki. Buku ini juga menerangkan latar belakang kehidupan sang penulis dimulai dari tempat beliau lahir, sejarah etnis, dan tempat tinggalnya.
Dilanjutkan dengan kehidupan pendidikan yang dijalaninya yaitu di IAIN yang sekarang dikenal dengan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta (UIN Jakarta). Saat di kampus beliau aktif mengikuti organisasi sosial seperti LSM perempuan progresif.
Alasan beliau bergabung organisasi sosial tersebut dikarenakan beliau merasa menemukan jati dirinya, beliau menemukan pencerahan akal maupun imannya dan beliau dapat melanjutkan keinginannya dari dulu yaitu meretas budaya patriarki. Tetapi keputusannya tersebut mengharuskan beliau keluar dari organisasi sebelumnya yaitu HMI (Himpunan Mahasiswa Islam).
2) METODOLOGI FENOMENOLOGI
Pada Bab 1 “Aku dan Etnisitas” kita disuguhi cerita mengenai tempat tinggal dan hal-hal menarik penulis sejak kecil. Beliau berasal dari Banten tepatnya di Kabupaten Pandeglang. Seperti yang banyak diketahui masyarakat luas bahwa Banten adalah salah sekian banyak provinsi yang mayoritas penduduknya merupakan pemeluk agama Islam.
Pada Bab ini pula penulis menceritakan bahwa Ketegangan etnis di Banten tidak pernah muncul ke permukaan, tetapi sebetulnya ada pergesekan dari dalam yang tidak disadari, perlawanan secara diam-diam, khususnya dengan etnis Sunda Priangan.
Pergesekan itu terjadi saat mulai di tempatkannya bupati dan pejabat-pejabat utama kabupaten yang didominasi oleh orang-orang yang berasal dari Sunda Priangan ketimbang dari orang-orang setempat.
Demikian pula posisi-posisi penting dalam pemerintahan. Selain itu, penulis menceritakan beberapa hal mengenai Banten dan sampai bagaimana perkembangan Banten akhirnya resmi menjadi memisahkan diri dari Jawa Barat.
Pada Bab 2 “Aku sebagai Muslim” kita akan dijelaskan bagaimana sejak kecil beliau diajarkan dan dididik sebagai muslim yang taat, dimulai dari latar belakang keluarga ayahnya yang punya pengaruh dalam mengajarkan Islam di lingkungan sekitarnya, pendidikan bercorak Islam sejak kecil, dan kecenderungannya terhadap paham teologi Wahabi. Yang paling menarik dan hebat menurut saya adalah ketika beliau menceritakan kehidupannya sebagai muslim yang hidup di Negara Barat.
Puncaknya, beliau dipercaya menjadi narasumber mengenai Gerakan Perempuan Muda pada aktivitas lintas agama di Indonesia oleh sebuah Organisasi Perempuan Kristen Dunia pada tahun 2000. Beliau menceritakan dan menjelaskan bagaimana beliau merasa seperti disudutkan oleh pewawancara tersebut yang seperti diketahui Islam dipandang sebelah mata di negara tersebut. Namun, hal tersebut sama sekali tidak membuat beliau menyerah.
Pada Bab 3 “Aku sebagai Perempuan” lagi-lagi kita akan dibuat takjub oleh penulis, beliau menceritakan bagaimana kegigihan dan kesabaran beliau menghadapi tekanan dan intervensi dari orang-orang sekitarnya. Beliau juga memberikan pengalaman bagaimana adanya perbedaan sikap dan perlakuan orang tua terhadap anak perempuan dan anak laki-laki.
Pada Bab 4 “Aku sebagai Anak Bangsa” beliau menceritakan bagaimana kepedulian dan pengalamannya saat mengalami pergolakan politik yang terjadi pada era Orba sampai era Reformasi yang mana membuat beliau merasa tidak percaya dengan para pemerintah yang menjabat.
3) METODOLOGI FEMINISME DAN GENDER
Melihat dengan menggunakan metode feminisme dan gender, saya lebih menitik-beratkan kepada Bab 3 “Aku sebagai Perempuan” karena pada Bab ini juga bagaimana penulis menjelaskan “Identitas sebagai Perempuan” dan terdapat poin-poin dari feminisme dan gender:
•Teologi Feminisme, berangkat dari gerakan perempuan yang bertujuan melakukan suatu perubahan yang lebih baik dalam hal ini yaitu keadilan sosial sesungguhnya kepada perempuan. Dalam buku ini, penulis memilih agama beliau sendiri (Islam) sebagai landasan keagamaannya.
Beliau mengungkapkan bahwa Islam membuat perubahan dirinya dalam hal kemandirian dan tidak ketergantungan. Selanjutnya teologi feminisme Islam ini pula memiliki kaitan dengan Feminisme Liberal dan Feminisme Radikal.
Feminisme Liberal itu sendiri ialah penempatan perempuan untuk memiliki kebebasan penuh dan individual serta aliran yang tidak mendukung adanya subordinasi. Sedangkan Feminisme Radikal ialah sebuah filosofi yang menekankan pada konsep patriarki yang mana adanya dominasi dari pihak laki-laki terhadap pihak perempuan.
Penulis pun mengungkapkan bahwa tidak perlu membedakan antara laki-laki dan perempuan dari segi tuntutan, karena hal demikian dapat menciptakan ketimpangan gender.
•Gerakan Feminis, pada halaman ke 76, tepat di bawah foto pernikahan penulis dapat kita lihat mengenai beliau yang sedikit menceritakan nenek kandungnya yang bernama Masyitoh yang ternyata memiliki jiwa feminis dan mempraktikkan dalam perjuangan hidupnya walaupun mungkin nenek Masyitoh tidak mengenal istilah feminis tersebut.
Berangkat dari situlah, beliau terinspirasi dari sang nenek salah satunya adalah dengan aktif dalam forum-forum diskusi mengenai feminisme serta menjadi salah satu anggota LSM perempuan.
Selain itu, beliau berani menyuarakan apa yang menjadi keinginannya seperti masa depan beliau yang tidak terikat pada tradisi bagi perempuan dan mendirikan beberapa sekolah dasar Islam. Dedikasinya terhadap pendidikan dan anak-anak cukup membuat saya takjub. Bagaimana tidak, mungkin hanya sekian dari jutaan perempuan di Indonesia di tahun 70-an yang memiliki kekuatan berdaulat untuk dirinya sendiri sebagai perempuan.
•Stigmatisasi Perempuan, menurut saya pribadi dalam buku ini sangat penting dibaca untuk perempuan-perempuan yang memiliki problem yang mirip dengan yang penulis alami. Dimulai dari masa kecil beliau yang kental dengan didikan agama Islam dan konstruksi untuk menjadi seorang perempuan yang harus mengerjakan serta melakukan pekerjaan rumah tangga seperti bersih-bersih maupun memasak tetapi perlakuan berbeda diberikan kepada saudara laki-laki beliau yang lebih diberikan kebebasan untuk bermain di luar rumah.
Selain itu, harapan yang diberikan orang tua penulis juga memiliki perbedaan terhadap anak perempuan dan anak laki-laki. Orang tua beliau berharap anak laki-lakinya untuk meneruskan kuliah di luar negeri dan melanjutkan ayahnya sebagai ulama, namun untuk penulis beliau hanya diminta untuk kuliah di dalam negeri saja. Sangat terlihat betapa berbedanya sikap yang diberikan kepada anak perempuan dan laki-laki.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H