"Ta pageu lampoeh ngoen kawat, ta pageu nanggroe ngoen adat"
Artinya adalah jaga kebun dengan pagar kawat, sedangkan untuk menjaga sebuah negeri yaitu dengan adat. Beginilah kurang lebih pemaknaan salah satu hadih maja (sastra lisan) yang banyak digaungkan oleh para tetua adat di Aceh.
Aceh dikenal sebagai salah satu provinsi yang masih melestarikan adat istiadat. Banyak sekali kegiatan dan perayaan digelar mengikuti adat istiadat yang ada. Hingga hal ini juga berpengaruh dalam pola pikir dan perilaku masyarakat Aceh.
Namun juga tidak dapat dipungkiri jika sudah banyak adat yang sudah berwarna akibat terpengaruh perkembangan zaman.Â
Hal ini tentunya menjadi sebuah masalah baru yang harus diatasi oleh para penggiat adat dan budaya serta masyarakat pada umumnya. Meski begitu, masyarakat Aceh masih mampu memproteksi identitasnya.
Hal ini bisa kita lihat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Aceh. Nilai-nilai keacehan tetap melekat dan masih diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.Â
Maka pada tulisan kali ini saya akan mengenalkan sebuah adat dalam menentukan almanak atau kalender di Aceh.Â
Masyarakat Aceh mengenal dua almanak atau kalender, yaitu kalender Hijriah dan Masehi.Â
Perbedaannya adalah kalender Masehi digunakan untuk kepentingan formal seperti pendidikan dan perkantoran. Sedangkan kalender Hijriah digunakan untuk perayaan berbagai adat, peringatan keagamaan, dan berbagai macam sejarah yang ada di Aceh. Nah mari langsung saja kita ulas.
Mengenal Keunenong
Keunenong merupakan metode yang digunakan masyarakat Aceh dalam menetapkan penanggalan pada almanak atau kalender Hijriah. Keunenong atau keunong sudah ada sejak zaman Sultan Iskandar Muda dulu. Penanggalan dengan metode ini berdasarkan peredaran matahari, arah angin dan musim ketika melakukan bercocok tanam. (Wikipedia)
Namun sistem keunenong ini lebih populer di kalangan para nelayan dan petani. Karena sampai saat ini mereka masih menggunakan kalender yang dibuat berdasarkan keunenong untuk dijadikan sebagai rujukan turun ke sawah dan berlayar ke lautan.
Keunenong dijadikan referensi awal untuk penentuan almanak Hijriah di Aceh. Tidak jauh berbeda dengan kalender Masehi seperti yang kita gunakan secara umum. Hanya saja di dalam almanak ini terdapat banyak momen seperti sejarah islam, perayaan hingga adat Aceh yang dilaksanakan pada setiap momen-momen tersebut.
Almanak AcehÂ
Jika diartikan berdasarkan KBBI, almanak adalah penanggalan (daftar hari, minggu, bulan, hari-hari raya dalam setahun) yang disertai data keastronomian, ramalan cuaca dan sebagainya. Masyarakat Aceh mengenal dua almanak, yaitu berdasarkan bulan Masehi dan Hijriah.
Pada tulisan kali ini kita akan membahas almanak Hijriah. Karena pada dasarnya, masyarakat Aceh menjadikan almanak bulan Hijriah sebagai pegangan beberapa adat istiadat dan perayaan keagamaan.
Masyarakat Aceh juga mempunyai sebutan lain untuk menyebut nama hari. Kalau berdasarkan kalender masehi kita biasanya menyebut senin, selasa dan sebagainya untuk nama-nama hari, maka lain halnya dengan orang Aceh.
Adapun untuk nama-nama hari yang telah ditentukan adalah sebagai berikut.
- Aleuhad adalah sebutan untuk hari Minggu
- Seunanyan adalah sebutan untuk hari Senin
- Seulasa adalah sebutan untuk hari Selasa
- Rabu adalah sebutan untuk hari Rabu
- Hameh adalah sebutan untuk hari Kamis
- Djeumeu'at adalah sebutan untuk hari Jumat
- Satu adalah sebutan untuk hari Sabtu
Ada beberapa nama sebutan yang sebenarnya tidak mempunyai banyak perbedaan dengan nama hari dalam kalender Masehi. Namun hal yang paling menonjol lainnya adalah bahwa masyarakat Aceh memposisikan hari sesuai dengan kepentingannya.
Misalnya ketika melakukan sebuah hajatan besar, masyarakat Aceh biasanya memilih hari Sabtu dan Minggu. Untuk menggelar hajatan kecil-kecilan masyarakat Aceh memilih hari Senin, Selasa dan Kamis.Â
Masyarakat Aceh memilih menghindari melakukan hajatan di hari Rabu karena dipercaya ada satu pantangan yang harus dihindari pada hari tersebut.Â
Hal ini sudah menjadi kepercayaan pada masyarakat Aceh tempo dulu. Sedangkan untuk Jumat merupakan hari untuk melakukan ibadah dan ritual keagamaan lainnya.
Namun seiring berjalannya waktu, penetapan hari khusus dalam membuat sebuah acara mulai sedikit hilang pada masyarakat sekarang. Hal ini tentunya disebabkan oleh pengetahuan dan zaman yang semakin modern sehingga mempengaruhi cara pikir seseorang.
Penentuan Bulan dalam Almanak Aceh Berkaitan dengan Sejarah Islam
Bukan tanpa alasan masyarakat Aceh menggunakan almanak Hijriah sebagai pegangan dalam berbagai perayaan adat. Hal ini tentu tidak lepas dari berbagai peristiwa besar umat islam yang terjadi pada tahun Hijriah.Â
Maka sebenarnya almanak Aceh juga mengikuti berbagai sejarah islam dan menjadikan berbagai perayaan di dalamnya sebagai pengingat kejadian dan peristiwa besar dalam sejarah umat islam.
Catatan peristiwa sejarah dalam Almanak Aceh dimeriahkan dengan perayaan khusus. Sesuai dengan bulan apa yang akan tiba. Kenduri atau Khanduri merupakan salah perayaan paling banyak dilakukan oleh masyarakat Aceh dalam menyambut atau merayakan peristiwa sebuah sejarah.
Buleun Sausen (Bulan Muharram)
Buleun Sausen (dibaca sa-usen) merupakan bulan pertama dalam almanak Aceh. Dalam kalender Hijriah disebut  dengan bulan Muharram. Nama Sa-Usen diambil dari nama cucu Nabi Muhammad yaitu Hasan dan Husen.
Sebagaimana kita ketahui salah satu peristiwa besar dalam bulan Muharram adalah syahidnya Saidina Husen di padang Karbala. Merupakan peristiwa besar yang memilukan dan membuat sedih umat Islam.Â
Pada bulan ini biasanya masyarakat Aceh melakukan kenduri Asyura tepatnya pada 10 Muharram. Kenduri Asyura adalah kenduri bubur kanji yang dimasak menggunakan bumbu masakan khas Aceh.
Kenduri Asyura dilakukan di Masjid ataupun Meunasah dan juga Surau. Setelah memasak bubur kanji kemudian dibagikan kepada seluruh masyarakat yang berada di daerah tersebut. Hingga kemudian diakhiri dengan memakan bubur kanji bersama-sama.
Buleun Safaa (Bulan Safar)
Bulan kedua dalam almanak Aceh adalah buleun Safaa atau kita kenal dengan Safar. Dalam bulan ini masyarakat Aceh biasanya beramai-ramai pergi ke laut untuk melakukan acara manoe safaa atau mandi Safar. Ada yang mandi di laut, sungai, bahkan ada juga yang memilih mandi di sumur rumah.
Manoe Safaa biasanya dilakukan pada hari Rabu terakhir bulan Safar atau dikenal dengan nama Rabu Habeh. Tujuan mandi ini adalah untuk membuang sial atau naas. Karena masyarakat Aceh percaya pada bulan ini banyak diturunkan penyakit.Â
Selesai mandi biasanya masyarakat Aceh akan menghabiskan waktu untuk makan bersama (meuramien) dengan keluarga atau kerabat di tepi pantai.
Namun upacara manoe safaa ini sudah mulai memudar di zaman sekarang. Terlebih di daerah perkotaan, hal-hal seperti ini sudah dianggap tidak lagi mempunyai nilai sakral.Â
Maka pada zaman sekarang, masyarakat Aceh lebih memilih untuk mengunjungi pantai dan melakukan makan bersama saja ketika datangnya bulan Safar.
Buleun Maulod, Adoe Maulod, dan Maulod Akhe (Rabiul Awal, Rabiul Akhir, dan Jumadil Awal)
Tiga bulan berikutnya adalah buleun Maulod, adoe maulod, dan maulod akhe. Pada bulan ini masyarakat Aceh melakukan kenduri untuk memperingati hari lahirnya Nabi Muhammad SAW.Â
Perayaan maulid di Aceh berlangsung selama 100 hari atau lebih dikenal dengan lhee buleun siploeh uroe (tiga bulan sepuluh hari).
Perayaan maulid di Aceh berlangsung cukup meriah. Berbagai acara dilakukan ketika bulan maulid tiba. Salah satu perayaan wajib adalah khanduri maulod.Â
Masyarakat Aceh melakukan kenduri di Meunasah ataupun masjid dengan membawa hidangan besar untuk merayakannya dengan seluruh masyarakat.
Biasanya tamu yang di undang juga cukup ramai, ketika maulid diadakan di kampung A, maka kampung B,C, dan D akan diundang ke masjid untuk menyantap kenduri yang telah disediakan. Begitulah setiap tahunnya perayaan maulid dilaksanakan di Aceh. Adat ini juga masih terjaga hingga sekarang.
Buleun Boh Kayee (Bulan Jumadil Akhir)
Selanjutnya adalah buleun boh kayee (buah-buahan). Di dalam kalender Hijriah dikenal dengan nama Bulan Jumadil Akhir.Â
Menariknya adalah, pada buleun boh kayee ini ada dua perayaan yang sedang berlangsung di Aceh. Pertama Maolod akhe dan kedua adalah khanduri boh kayee.
Karena perayaan maulid di Aceh adalah 100 hari, maka 10 hari terakhir masuk dalam buleun boh kayee. Lalu kenapa dinamakan buleun boh kayee? Jawabannya adalah karena pada bulan ini banyak sekali buah-buahan yang bisa dipanen oleh Masyarakat Aceh.
Pada zaman dulu, musim buah-buahan di Aceh sudah bisa dipastikan kapan datang dan mulai bisa panen. Namun dikarenakan perubahan iklim yang cukup drastis, mengakibatkan musim buah-buahan ini sudah bergeser dari biasanya. Maka bisa dilihat sekarang di Aceh musim boh kayee ini sudah tidak menentu lagi kapan terjadi.
Buleun Apam (Bulan Rajab)
Bulan Rajab di Aceh dikenal dengan buleun apam. Apam atau disebut juga dengan kue serabi merupakan kue khas asal Aceh. Pada bulan Rajab, masyarakat Aceh menggelar acara khanduri apam di Kampung masing-masing.
Meski nampak sederhana, khanduri apam dapat membuat semua orang kompak. Karena proses pembuatannya dilakukan bersama-sama di Meunasah atau surau Kampung. Kue apam ini dimakan memakai kuah santan.
Pada pagi hari Ibu-ibu memasak apam, kemudian jika sudah selesai maka akan dibagikan untuk masyarakat dan menyantap kue apam ini bersama-sama.
Buleun Khanduri Bu (Bulan Sya'ban)
Buleun khanduri bu jatuh pada Bulan Sya'ban dalam hitungan Kalender Hijriah. Khanduri bu berarti diadakan jamuan makan nasi. Biasanya khanduri bu dilakukan pada pertengahan bulan Sya'ban yaitu pada malam ke-15 yang disebut dengan beureuat.
Malam Beureuat dikenal juga dengan sebutan malam nisfu sya'ban. Ini merupakan malam peringatan untuk mengenang kelahiran Nabi Ismail yang merupakan anak dari Nabi Ibrahim dan Siti Hajar.
Pada hari kelima belas bulan Sya'ban masyarakat Aceh membawa satu keranjang nasi beserta lauk ke Masjid atau Surau Kampung.Â
Kemudian setelah selesai salat Magrib, maka dilakukan pembacaan doa dan zikir bersama. Baru setelah itu, masyarakat menggelar acara makan bersama hingga selesai. Di Aceh, perayaan khanduri bu ini masih berlangsung hingga sekarang.
Buleun Ramadan (Bulan Ramadan)
Selanjutnya adalah bulan Ramadan atau bulan puasa. Masyarakat Aceh pada bulan puasa biasanya menggelar beberapa acara di Masjid ataupun Meunasah (surau).Â
Wot ie bu kanji (masak bubur kanji) merupakan kegiatan rutin yang dilakukan setiap sore di Masjid yang ada di Aceh. Bubur kanji ini dibagikan untuk masyarakat secara gratis setiap harinya sebagai menu untuk berbuka puasa.
Kemudian ada juga acara peutamat daroih (Khataman Al Quran) di Masjid. Ini merupakan gelaran acara wajib di Masjid ataupun meunasah yang ada di Aceh setiap Ramadan. Biasanya khataman Al quran dilakukan hingga akhir bulan Ramadan.
Buleun Uroe Raya Puasa (Bulan Syawal)
Setelah Ramadan maka kita memasuki bulan Syawal atau buleun uroe raya. Ini merupakan bulan yang sangat istimewa untuk umat islam. Karena sebelumnya mereka telah melakukan puasa selama sebulan penuh. Maka di bulan Syawal masyarakat Aceh akan bersilaturahmi dengan sanak saudara, kerabat hingga tetangga.
Tidak ada perayaan khusus pada bulan ini. Hanya saja ini menjadi momen juga untuk para perantau untuk pulang kampung. Karena biasanya masyarakat yang telah lama merantau akan pulang ketika hari raya tiba.
Buleun Meuapeut (Bulan Zulkaidah)
Bulan Zulkaidah dikenal sebagai bulan meuapet. Artinya bulan ini berada diantara dua hari raya. Yaitu hari raya idulfitri dan iduladha.Â
Tidak ada perayaan khusus pada bulan ini. Hanya saja ada yang mengatakan jika pada bulan ini tidak bagus dilakukan pernikahan.
Buleun Haji (Bulan Zulhijjah)
Buleun haji atau Bulan Zulhijjah merupakan bulan terakhir dalam kalender Hijriah. Bulan ini merupakan perayaan untuk umat islam yang melaksanakan ibadah haji. Bulan Zulhijjah juga diperingati dengan melakukan qurban.
Tidak ada acara yang mencolok pada masyarakat Aceh selama bulan Haji berlangsung. Perayaan yang dilakukan juga umum seperti yang dilakukan oleh umat islam pada dasarnya. Hanya saja nilai kesakralan bulan haji ini tetap dijaga oleh masyarakat Aceh sebagaimana yang sepatutnya dilakukan oleh umat islam lainnya.
Nah itulah almanak Aceh yang diadopsi dari almanak Hijriah. Banyak sekali peristiwa dalam islam yang kemudian dijadikan acuan dalam menentukan Almanak di Aceh.Â
Namun, seiring berjalannya waktu, banyak masyarakat Aceh yang mulai lupa akan almanak ini. Sudah sepatutnya sebagai generasi muda kita mulai menggalakkan kembali nilai-nilai Keacehan dan menjaga agar segala macam adat dan budaya dapat kembali diajarkan agar di ingat oleh generasi mendatang.
Sekian.
Terimoeng Geunaseh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H