Kue yang dibawa oleh ibu-ibu pada siang hari akan disuguhkan ala kadarnya untuk orang-orang yang melakukan samadiah pada malam hari. Begitulah setiap harinya. Dengan begini, beban untuk keluarga almarhum tidak begitu berat.
Hal ini sudah berlangsung lama. Saling tolong menolong seperti ini sudah sangat erat berlaku dalam keseharian masyarakat Aceh.
Adanya Istilah "Geubuka Pinto"Â
"Geubuka Pinto" artinya Membuka pintu. Ini juga masih tentang samadiah. Istilah Geubuka pinto ini merujuk pada suatu keadaan dimana jenazah almarhum tidak dimakamkan di kampung asalnya.
Misalnya ketika ada salah satu orang Aceh merantau ke luar, misalnya ke tanah Jawa. kemudian ketika di Jawa, dia menikah lalu menetap disana. Ketika dia meninggal, jenazahnya pun dimakamkan disana.
Maka pihak orangtua ataupun keluarganya yang ada Aceh berinisiatif untuk menggelar samadiah di rumah mereka. Maka istilah yang berlaku pada keadaan seperti ini disebut dengan geubuka pinto.
Keluarganya akan melapor ke kepala desa (Keuchiek) agar dapat diumumkan ke semua masyarakat tentang niat mereka. Lalu samadiah pun dapat digelar seperti layaknya samadiah yang sudah saya jelaskan tadi.
Ada Perbedaan Jumlah Hari dan Tempat dengan Desa Lain
Seperti yang sudah saya katakan di awal tadi. Setiap daerah pasti memiliki budaya yang berbeda-beda. Begitu juga dengan samadiah. Pada umumnya ritual samadiah ini sama dalam bentuk doa-doanya. Namun dalam pelaksanaanya ada yang berbeda-beda. Misalnya seperti ini.
Beda dalam Jumlah Hari
Di beberapa tempat, lazimnya samadiah dilakukan selama tujuh hari tujuh malam. Malam pertama hingga malam keenam samadiah dilakukan seperti biasa. Membaca doa bersama-sama dan ketika selesai akan disuguhkan kue dan minuman ala kadarnya.