Mohon tunggu...
Muhammad Nauval
Muhammad Nauval Mohon Tunggu... Perawat - Perawat | Aceh Tulen

Pecinta Kopi Hitam Tanpa Gula

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Samadiah, Ritual Keagamaan Masyarakat Aceh untuk Mendoakan yang Meninggal Dunia

1 Juni 2021   14:43 Diperbarui: 2 Juni 2021   05:43 7307
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Samadiah, tradisi tahlilan di Aceh, Sumber [dok. Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh]

Setiap manusia pasti akan mengalami kematian. Tidak ada yang tahu kapan kematian itu akan datang. Maka, sebagai seorang manusia, melakukan kebaikan ketika hidup adalah sebuah kewajiban. Semuanya berlomba-lomba mengumpulkan amal kebaikan. Agar kelak ketika kematian datang, manusia itu mendapat tempat paling baik di sisi Allah SWT.

Ketika ada orang meninggal dunia. Keluarga, kerabat, serta sanak saudara beramai-ramai datang berkunjung dan mendoakan almarhun/almarhumah agar diberi ampunan dan diterima semua amalannya oleh Allah SWT.

Di Indonesia, umumnya kita mengenal tahlilan sebagai makna dari berkunjung dan ramai-ramai berdoa untuk almarhum. Tahlilan adalah ritual keagamaan untuk mendoakan orang yang telah meninggal.

Seperti yang sudah kita tahu. Indonesia adalah sebuah Negara besar yang memiliki beraneka ragam suku dan budaya. Maka tidak heran jika banyak sekali adat yang berbeda-beda di setiap daerah yang ada di Indonesia.

Kemudian, jika membahas tentang tahlilan. Saya yakin setiap daerah pasti memiliki adat yang berbeda-beda. Saya akan mengambil satu contoh, misalnya tahlilan yang ada di Aceh.

Di Aceh, tahlilan dikenal juga dengan nama samadiah. Samadiah merupakan ritual keagamaan yang dilakukan setelah semua prosesi fardhu kifayah, mulai dari memandikan, mengkafani, menyalatkan hingga memakamkan telah selesai dilakukan.

Kemudian pada malam harinya barulah samadiah mulai dilakukan. Samadiah dipimpin oleh seorang Teungku (ustaz) atau imam masjid. Dimulai dengan pembacaan Surat Al-Fatihah dan kemudian dilanjutkan dengan membaca surat Al-Ikhlas, An-Naas dan doa-doa yang lain secara bersama-sama.

Samadiah hampir merata dilakukan di seluruh kampung yang berada di Aceh. Banyak juga perbedaan-perbedaan yang muncul antara satu kampung dengan kampung lainnya dalam melakukan samadiah ini.

Namun semua perbedaan yang ada tidaklah menjadi masalah bagi masyarakat Aceh. Semuanya saling menghormati setiap perbedaan yang ada.

Nah, pada tulisan kali ini saya akan bercerita sedikit seputar samadiah yang ada di Aceh. Mulai dari perbedaan, keunikan, kebiasaan hingga bagaimana prosesi samadiah itu dilakukan oleh masyarakat Aceh. Yuk langsung saja disimak.

Dilaksanakan oleh Para Ahli Waris

Memang sudah lazim jika ada anggota keluarga yang meninggal dunia, keluarga atau ahli warislah yang akan mengurusi segala macam persoalan almarhum. Misalnya ketika semasa hidup almarhum pernah berhutang, maka yang akan melunasi adalah keluarga dan ahli warisnya.

Begitu juga dengan samadiah. Ahli waris yang akan mengurusi segala hal mulai dari persiapan hingga selesai samadiah ini dilaksanakan.

Kunjungan Besan dan Masyarakat dari Kampung Sebelah

Samadiah dilakukan oleh orang dalam jumlah yang banyak. Selain dihadiri oleh keluarga, tetangga dan orang yang tinggal satu kampung dengan kita. Samadiah juga turut melibatkan orang-orang dari kampung lain.

Jika keluarga almarhum banyak sanak saudaranya. Maka banyak pula kunjungan orang yang akan samadiah ke rumah kita.

Misalnya sanak saudaranya tinggal di kampung yang berbeda-beda. Kemudian dia mengajak masyarakat di kampung tempat ia tinggal untuk bertakziah ke rumah sanak saudaranya tadi yang sudah meninggal. Hal ini sudah menjadi tradisi yang terus dilakukan oleh masyarakat Aceh.

Lalu, begitu pula dengan besan. Mereka juga akan melakukan hal yang sama. Mengajak masyarakat di tempat ia tinggal untuk pergi takziah ke rumah besannya. Jumlahnya pun biasanya mencapai 20 hingga 50 orang sekali takziah.

Ibu-ibu Membawa Kue Ketika Bertamu

Sebagian orang pasti bertanya-tanya, apakah samadiah dengan mengundang banyaknya orang tidak akan merepotkan pihak keluarga?

Yuk mari saya jelaskan.

Kebiasaan samadiah yang berlaku di Aceh begini, ada waktu yang berbeda-beda ketika bertakziah antara laki-laki dan perempuan. Misalnya, ketika kampung A ingin melakukan takziah dan samadiah ke rumah almarhum. Pada siang hari ibu-ibu lebih dulu datang membawa kue. Lalu pada malam harinya barulah giliran bapak-bapak melakukan takziah dan samadiah di rumah almarhum.

Kue yang dibawa oleh ibu-ibu pada siang hari akan disuguhkan ala kadarnya untuk orang-orang yang melakukan samadiah pada malam hari. Begitulah setiap harinya. Dengan begini, beban untuk keluarga almarhum tidak begitu berat.

Hal ini sudah berlangsung lama. Saling tolong menolong seperti ini sudah sangat erat berlaku dalam keseharian masyarakat Aceh.

Adanya Istilah "Geubuka Pinto" 

"Geubuka Pinto" artinya Membuka pintu. Ini juga masih tentang samadiah. Istilah Geubuka pinto ini merujuk pada suatu keadaan dimana jenazah almarhum tidak dimakamkan di kampung asalnya.

Misalnya ketika ada salah satu orang Aceh merantau ke luar, misalnya ke tanah Jawa. kemudian ketika di Jawa, dia menikah lalu menetap disana. Ketika dia meninggal, jenazahnya pun dimakamkan disana.

Maka pihak orangtua ataupun keluarganya yang ada Aceh berinisiatif untuk menggelar samadiah di rumah mereka. Maka istilah yang berlaku pada keadaan seperti ini disebut dengan geubuka pinto.

Keluarganya akan melapor ke kepala desa (Keuchiek) agar dapat diumumkan ke semua masyarakat tentang niat mereka. Lalu samadiah pun dapat digelar seperti layaknya samadiah yang sudah saya jelaskan tadi.

Ada Perbedaan Jumlah Hari dan Tempat dengan Desa Lain

Seperti yang sudah saya katakan di awal tadi. Setiap daerah pasti memiliki budaya yang berbeda-beda. Begitu juga dengan samadiah. Pada umumnya ritual samadiah ini sama dalam bentuk doa-doanya. Namun dalam pelaksanaanya ada yang berbeda-beda. Misalnya seperti ini.

Beda dalam Jumlah Hari

Di beberapa tempat, lazimnya samadiah dilakukan selama tujuh hari tujuh malam. Malam pertama hingga malam keenam samadiah dilakukan seperti biasa. Membaca doa bersama-sama dan ketika selesai akan disuguhkan kue dan minuman ala kadarnya.

Namun berbeda ketika malam ketujuh. Masyarakat Aceh biasa menyebut Seuneujoh atau Neujoh pada malam ketujuh.

Seuneujoh/Neujoh

Kenduri Seunujoh/Neujoh, Sumber [Steemit]
Kenduri Seunujoh/Neujoh, Sumber [Steemit]

Ini merupakan sebutan lain untuk malam ketujuh. Pada malam neujoh ini, keluarga akan menyiapkan kenduri (jamuan makanan) ala kadarnya untuk tamu. Biasanya tamu yang hadir merupakan undangan dari pihak keluarga.

Maka terlihat ketika neujoh ini tamu yang hadir tidak begitu banyak. Jumlah tamu sepenuhnya sesuai dengan keinginan pihak keluarga. Jika keluarga tersebut mampu, maka banyak pula tamu yang di undang.

Kenduri biasanya diadakan pada siang hari dan malam. Siang hari tamu yang hadir biasanya adalah tamu-tamu di luar kampung. Kerabat, rekan kerja dan saudara jauh. Ketika malam, tamu yang hadir adalah masyarakat setempat.

Kenduri dilaksanakan setelah selesai salat magrib. Selesai kenduri maka akan dilanjutkan dengan samadiah atau pembacaan surat yasin. Ini semua tergantung apa yang diinginkan pihak keluarga.

Kemudian ada juga kampung yang hanya mengadakan samadiah tiga malam saja. Ini semua tergantung bagaimana ketentuan adat yang berlaku di kampung tersebut.

Kenduri Peut Blah, Lhee Ploeh, Reutoeh dan Kenduri Thoen

Kemudian selesai kenduri pada malam Neujoh. Ada juga kenduri yang diadakan pada malam ke empat belas (Peut Blah), malam ketiga puluh (Lhee Ploeh), pada malam ke seratus (Reutoeh), dan kenduri tahunan (Thoen).

Semua kenduri tersebut tidak wajib untuk dilakukan. Ini semuanya kembali lagi pada kemampuan keluarga. Ada yang hanya mengadakan kenduri lhee ploeh namun tidak melakukan kenduri reutoeh. Begitu pun sebaliknya.

Ada juga yang hanya bersedekah untuk anak yatim. Atau melakukan kenduri kecil-kecilan yang hanya mengundang orang-orang terdekat saja. Semua ini tidak dipaksakan sama sekali. Ini semua tujuannya tetaplah sama, mengirimkan doa untuk almarhum yang telah lebih dulu meninggal dunia.

Samadiah di Meunasah

Samadiah dan yasinan di Meunasah, Sumber[Mushalla Al Hidayah]
Samadiah dan yasinan di Meunasah, Sumber[Mushalla Al Hidayah]

Salah satu perbedaan lagi adalah, di beberapa kampung samadiah ada juga yang hanya dilakukan di meunasah (surau). Malam pertama hingga ketiga samadiah dilakukan di meunasah, dan pada malam selanjutnya baru akan dilakukan di rumah duka.

Ini semua merupakan perbedaan yang indah. Sebagai masyarakat Aceh saya sangat menghargai adat-adat seperti ini. Meski ada juga beberapa orang yang saling menjatuhkan dan menyalahkan satu sama lain. Namun, sampai saat ini, samadiah terus dilakukan oleh masyarakat Aceh tanpa adanya masalah apa-apa.

Sekian

Terimoeng Geunaseh

Aceh 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun