Setiap daerah punya budaya yang cukup unik-unik dan berbeda-beda. Begitu juga dengan Aceh.
Dulu, ketika tahun 60-an hingga 80-an, karena belum ada listrik yang masuk ke kampung. Budaya membangunkan warga ketika sahur hanya dengan memukulkan bedug (tambo) di Meunasah (surau).
Meunasah jaman dulu sengaja di desain tinggi-tinggi. Salah satu tujuannya adalah untuk diletakkan tambo. Hal ini akan memudahkan warga mendengar suara tambo walaupun jauh dari meunasah.
Tambo juga ditabuh dengan cara yang beragam. Ada irama dan cara tersendiri sehingga menghasilkan suara-suara yang khas.
Sampai kesini, fungsi tambo sudah digantikan dengan toa dan microfon. Entah sejak kapan tambo mulai dipinggirkan. Namun, saya ingat ketika saya kecil suara tambo masih sesekali terdengar di telinga saya.
Lalu pada tahun 90-an akhir dan tahun 2000-an, cara yang berbeda juga mulai dipraktikkan pemuda ketika membangunkan warga untuk sahur.
Yaitu dengan melantunkan salawat-salawat ketika sahur tiba. Jika dulu warga terbangun karena suara tambo, maka pada tahun 2000-an, warga langsung bangun tatkala mendengar suara salawat di meunasah dan masjid-masjid. Biasa salawat mulai dilantunkan satu jam setengah sebelum waktu imsak.
Kemudian, saban hari perkembangan zaman pun semakin berubah. Teknologi semakin maju. Akses informasi pun semakin mudah. Anak-anak muda pun mulai berubah, mereka lebih kreatif dalam menjalankan perannya sebagai pemuda. Begitu pula yang terjadi di kampung.
Seperti cara yang dilakukan oleh Nisfun Nahar dan teman-teman. Kita bisa melihat sejauh mana sudah perubahan budaya yang terjadi di kalangan pemuda saat ini. Mulai dari hilangnya kebiasaan menabuh tambo, sekarang semuanya lebih terkesan simpel dan modern.
Tidak ada yang salah dengan perubahan yang terjadi sampai saat ini. Sebab semuanya juga masih dilakukan dengan tujuan yang sama, yaitu membangunkan warga untuk sahur.