Kemudian Sultan memerintahkan keuchiek (kepala desa) untuk mendata masyarakat miskin, fakir dan dhuafa di setiap desa mereka masing-masing, lalu kemudian diberikanlah beberapa tumpuk daging, kain dan uang sebagai bentuk kemakmuran untuk mereka semua.
Namun kini tradisi meugang sudah sedikit berubah. Sekarang meugang seakan adalah sebuah tradisi yang wajib dilakukan oleh semua orang. Baik orang kaya, miskin semuanya bersuka cita menyambut hari meugang dengan penuh semangat.
Jika pada masa Kesultanan Aceh warga yang miskin tidak perlu membeli daging, namun sekarang semuanya berubah. Warga yang ekonominya rendah akan tetap membeli daging meski harus bersusah payah.
Tetapi yang menariknya adalah, semuanya tetap riang gembira merayakan meugang meski uang pas-pasan. Tidak ada unsur paksaan sama sekali untuk merayakan hari meugang. Meugang tidak wajib. Banyak juga warga Aceh yang memilih tidak merayakan meugang dengan bermacam alasan.
Meugang juga bukan hanya tentang makan-makan. Meugang juga lumayan besar dampaknya bagi perekonomian pedagang.Â
Dalam hal ini pedagang daging, pemilik sapi dan hewan sejenisnya juga cukup banyak diuntungkan.Â
Tidak hanya itu, pedagang bumbu dan penjual bahan rempah-rempah lainnya juga cukup akan banyak terbantu dengan adanya tradisi meugang ini.
Masyarakat akan mulai memadati setiap lapak penjual dari pagi hingga petang. Kalau pedagang yang menjual daging biasanya buka dari selesai subuh hingga siang. Semuanya habis terborong. Meski harga daging sedikit kemahalan, namun masyarakat tetap akan membelinya. Kisaran harga daging biasanya menyentuh angka Rp180.000 per Kg dan bahkan bisa lebih tinggi dari itu.
Meugang di Rumah
Seperti cuplikan pesan kakak ipar saya di atas. Meugang biasanya dirayakan bersama keluarga di rumah.Â