Berakar dari temuan data, maka dapat ditemukan bahwa penggunaan AI menjadi kebiasaan baru di dunia digital. Kebiasaan yang dituntun oleh nilai akan membuat seseorang terus menggunakan peramban AI sebagai pelengkap kebutuhan hidupnya. Pun hal tersebut sesuai dengan perspektif Couldry (2003) dalam kategori kebiasaan yang didasarkan pada nilai. Beberapa peramban memiliki kegunaan dan manfaatnya masing-masing.
Para pengguna pun akan memiliki kebiasaan baru dalam mengumpulkan dan mengolah data menggunakan peramban AI. Sehingga dapat ditemukan bahwa dampak signifikan dalam pendidikan adalah bagaimana AI mampu mengerjakan tugas dalam ranah akademis. Penggunaan AI dalam ranah tersebut kemudian mempermudah seseorang dalam mengerjakan tugas sehari-hari mereka. Kemudian hal tersebut menuntun pada dilema etika dalam ranah akademis sebagaimana disampaikan oleh Profesor Bart Barendregt.
Prof Bart menyampaikan bahwa perkembangan teknologi selalu diikuti dengan kecemasan masyarakat karena didasari oleh ketidaktahuan dan takut akan ketertinggalan informasi. Diskursus pun muncul di mana AI mampu menggeser tugas analisis yang dilakukan oleh manusia yang kini akhirnya dilakukan oleh algoritma peramban AI.
Dari hal tersebut, Prof Bart menyampaikan bahwa ketergantungan pada AI akan membawa pada masalah dilema etika. Di mana manusia menciptakan sesuatu untuk mempermudah hidupnya, tetapi manusia menjadi bergantung atas apa yang diciptakannya. Ketergantungan tersebut akan menggeser daya manusia untuk mengerjakan sesuatu oleh dirinya sendiri dan bergantung pada teknologi. Sehingga hal ini menjadi titik menggunakan teknologi secara kritis.
Menilik temuan Salvagno, Taccone dan Gerli (2023), peramban ChatGPT memiliki kegunaan dalam dunia akademis. Terlebih pada ranah penulisan karya ilmiah dan menjadi asisten dalam mengolah material, bahkan melakukan proof reading. Kemampuan peramban tersebut dalam melakukan pekerjaan manusia merupakan landasan bagi masa depan di mana kecerdasan buatan mampu melakukan pekerjaan intelegensia yang mirip dengan manusia.
Kendati demikian, peneliti tidak menyarankan untuk menelan mentah-mentah informasi yang diberikan oleh kecerdasan buatan. Pun, peneliti juga menilai bahwa untuk saat ini peramban AI tersebut tidak bisa menggantikan peran manusia dalam mengambil keputusan. Untuk itu, diperlukan nalar kritis ketika menggunakan peramban AI. Masalah etika dalam dunia pendidikan juga menjadi poin pertimbangan oleh peneliti, di mana terdapat risiko plagiarisme dan tidak akuratnya data yang disajikan oleh peramban AI.
Masalah etika tersebut kemudian disinggung oleh Russell dan Norwig (2010 dalam Upadhyay, 2022, p. 112), di mana mereka menilai bahwa AI tidak bisa menggantikan sikap manusia dalam hal moral. Meski di masa depan AI memiliki kecerdasan yang lebih dari manusia, AI tidak bisa menggantikan nilai sosial dan moral.
Bila ini berkaitan dengan dunia pendidikan maka dapat dinilai bahwa nilai sosial dan moral merupakan bagian penting dalam etika akademis. Nilai tersebut menjadi benteng moral agar tidak menyalahgunakan AI dalam dunia akademis. Tak hanya nilai sosial dan moral, secara hukum AI perlu diperhatikan. Sebab, hingga saat ini AI tidak dilandasi oleh hukum. Untuk itu Upadhyay (2022) menilai bahwa perlunya landasan hukum untuk mengatur keberadaan AI. Hal tersebut berfungsi untuk memberikan kekang moral agar AI tidak disalahgunakan.
Dari sudut pandang Islam, AI masih menjadi bahan perdebatan di antara intelektual muslim dengan pengembang AI. Dilansir dari Ahuja (2021) Dr. Junaid Qadir dan Amana Raquib, intelektual muslim, melakukan pertimbangan etis atas keberadaan AI. Sebab ini menjadi sebuah perdebatan atas penciptaan keberadaan kecerdasan buatan. Dr. Qadir dan Raquib menilai bahwa AI seharusnya didesain sesuai dengan aturan dalam Al-Quran. Di mana manusia tidak bisa melebihi batas-batas mereka, sebagaimana QS. Ar-Rahman: 33 berbunyi,
“Wahai golongan jin dan manusia! Jika kamu sanggup menembus penjuru langit dan bumi, maka tembuslah. Kamu tidak akan mampu menembusnya kecuali dengan kekuatan Allah.”
Pada ayat tersebut Allah menegaskan bahwa manusia dan jin tidak bisa lepas dari tanggung jawab. Pun, disebutkan pula bagaimana manusia memiliki kelemahan dan akan berhadapan dengan kuasa Tuhan (Tafsir Surat Ar-Rahman Ayat 33, 2023). Berakar dari tafsir tersebut, kita bisa melihat bagaimana manusia yang menciptakan kecerdasan buatan adalah upaya untuk melewati batas mereka untuk memiliki kuasa dalam mencipta.