Di era digital, manusia tidak bisa lepas dari perkembangan teknologi. Saat ini teknologi sudah menjadi kebutuhan pokok dalam kehidupan sehari-hari. Produksi informasi yang terjadi saat ini berjalan begitu cepat. Melalui akses terbuka dalam internet, siapa pun bisa berselancar baik untuk menelan informasi atau membuat informasi.
Terobosan selalu hadir di dunia digital. Salah satunya adalah teknologi kecerdasan buatan atau biasa dikenal sebagai Artificial Intelligence (AI). Keberadaan AI saat ini hadir untuk memenuhi kebutuhan manusia atas informasi di dunia digital.
Teknologi AI saat ini meliputi berbagai bidang guna memberikan efektivitas dalam melakukan pekerjaan. Terdapat beberapa fitur AI yang dapat diakses oleh publik seperti ChatGPT yakni peramban yang mampu memberikan fitur tanya jawab tenang kehidupan sehari-hari.
Pun dalam fitur peramban tersebut dapat dimanfaatkan untuk mengolah informasi. ChatGPT sendiri berakar pada singkatan Chatbot Generative Pre-trained Transformer yang dikembangkan oleh OpenAI.
Perkembangan peramban tersebut ditingkatkan sehingga mampu berpikir secara logis dan memberikan analisis terhadap sebuah permasalahan atau pertanyaan yang diberikan oleh pengguna atau user.
Pun terdapat fitur AI yang mampu memberikan rekomendasi ilmiah yakni Phind. Fitur peramban yang mirip dengan ChatGPT namun berfokus pada rekomendasi penelitian yang berbasis data yang tersedia pada akses terbuka internet.
Dalam perkembangan era digital saat ini literasi tentang teknologi merupakan kebutuhan yang penting. Selalu memperbarui pengetahuan tentang teknologi akan membawa kita mudah beradaptasi dengan perubahan yang cepat. Sebab, era digital menghasilkan lingkungan maya yang dinamis dan cepat untuk berubah, untuk itu diperlukan adaptasi dengan meningkatkan literasi pengetahuan.
Begitu pun dalam konteks pendidikan, di mana teknologi sangat memberikan pengaruh pada proses belajar dan mengajar. Seperti halnya pandemi pada tahun 2020 dan resmi berakhir pada Mei 2023. Pandemi memaksa semua orang untuk beraktivitas di dalam rumah sehingga utilitas dari teknologi meningkat. Pun, teknologi akhirnya menjadi bagian kebutuhan mendasar dalam melakukan aktivitas harian.
Kemudian, perkembangan teknologi menghasilkan kecerdasan buatan. Perkembangan kecerdasan buatan sendiri telah menjadi diskursus sejak tahun 1956. Kemudian generasi pertama dari AI lahir pada tahun 1980-an. Hingga saat ini masuk ke dalam generasi terbaru yang menggunakan pendekatan reinforcement learning. Pendekatan tersebut membuat AI sebagai mesin model pembelajaran mampu belajar dari pengalaman dan mampu menggunakan alur logika yang telah diatur lewat algoritma (Bo Zhang, Jun Zhu, 2023).
Saat ini kecerdasan buatan atau lebih dikenal dengan sebutan AI kini menjadi utilitas pembantu dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan AI dapat menjadi co-writer dalam menulis jurnal dan hal ini dapat ditemukan pada jurnal yang ditulis oleh King (2023, pp. 1–2).
Dalam tulisan tersebut King (2023) memanfaatkan AI untuk menulis paragraf tentang chatbot (ChatGPT) yang membahas tentang penggunaan kecerdasan buatan dalam dunia akademi. Hal tersebut menunjukkan bahwa terjadinya irisan dalam perkembangan teknologi, dalam hal ini AI, dan dunia pendidikan yang memerlukan dunia digital.
Melihat fenomena perkembangan teknologi yang ditunjukkan dengan hadirnya kecerdasan buatan menunjukkan bahwa muncul budaya atau kebiasaan baru di lingkungan digital. Sebagai wujud untuk melihat potensi keuntungan dan risiko yang akan hadir di masa depan, antropologi memiliki peran untuk membangun sebuah kesadaran dalam lingkungan digital.
Kehadiran AI dalam lingkungan digital membuat manusia bergantung kepada teknologi karena efektivitas yang luar biasa untuk mendapatkan informasi. Efisiensi tersebut menjadi kekhawatiran akan tergantikannya posisi manusia dalam dunia pekerjaan.
Maka dari itu, lewat perspektif antropologi, manusia bisa kembali menemukan kesadarannya dan tidak jatuh ke dalam ketergantungan pada teknologi. Untuk itu, terdapat disiplin atau cabang dari antropologi yang terkait dengan hal tersebut, yaitu antropologi media.
Media merupakan medium fenomena kultural dalam kehidupan sehari-hari. Kita dapat menemukan bagaimana proses konsumsi media di dalam keseharian. Selepas bangun dari tidur, sering kali kita langsung membuka ponsel pintar kita dan mendapatkan notifikasi berita terbaru yang sedang hangat diperbincangkan.
Informasi masuk secara bebas dengan kemajuan teknologi saat ini. Tidak jarang, kita susah untuk mencerna informasi yang begitu banyaknya karena kita sudah kebanjiran informasi. Oleh karenanya, secara tidak langsung kita selalu berhadapan dengan media baik itu media massa atau media sosial. Kehidupan yang sudah terintegrasi dengan perkembangan teknologi membuat masyarakat tidak bisa lepas dengan konsumsi media. Entah itu bertujuan untuk hiburan, keperluan bekerja, membagi informasi, bahkan pendidikan sekalipun.
Jika mengacu kepada penjelasan Couldry (2003), media memiliki fungsi untuk menumbuhkan imajinasi seseorang agar terhubung dengan dunia sosial. Antropologi media merupakan upaya untuk menghasilkan kesadaran dalam melihat kenyataan dalam masyarakat bahwa media dan antropologi saling berkaitan. Dalam hal ini, antropologi media menerapkan perspektif semiotika dalam melihat media sebagai alat untuk menginvestigasi sebuah tayangan di dunia digital.
Pun, saat ini media menjadi bagian dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga secara tidak langsung ini bisa disebut sebagai fenomena kultural. Maka dari itu, peran antropologi saat ini penting dalam melihat perkembangan dunia digital termasuk AI yang merambah dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga secara umum, antropologi media mampu melihat konstruksi yang terjadi dalam realitas dunia digital, pula mampu menangkap sebuah praktik dalam masyarakat digital terhadap fenomena dalam lingkungan digital atau maya.
Terdapat tiga pendekatan dalam terminologi media dan ritual yakni tindakan kebiasaan, formalisasi tindakan, dan tindakan yang berlandaskan nilai (Couldry, 2003). Pada pendekatan tindakan kebiasaan, seseorang akan cenderung melakukan aktivitas yang berulang tanpa mengerti makna di baliknya. Pendekatan kedua tentang formalisasi tindakan berarti kebiasaan yang sudah dilakukan itu memiliki makna tertentu di dalam keseharian, sehingga kebiasaan tersebut menjadi sebuah keharusan yang dilakukan oleh seseorang.
Sedangkan, pendekatan yang ketiga lebih detail ke arah makna dan tujuan yang mengarahkan seseorang untuk melakukan kebiasaan tertentu. Dengan demikian, tujuan dari makalah ini adalah untuk mendeskripsikan pola perilaku penggunaan peramban AI dalam hal pendidikan di lingkungan internet melalui perspektif media dan ritual oleh Nick Couldry.
Media teknologi dalam dunia pendidikan tidak dapat dipisahkan. Kebutuhan teknologi memberikan efisiensi dalam melakukan proses belajar dan mengajar. Keberadaan AI saat ini menunjukkan manfaatnya pada proses terebut. Sehingga hal ini mampu menghasilkan sebuah kebiasaan baru di era digital bahwa teknologi AI memberikan bantuan untuk menyelesaikan pekerjaan manusia. Jika melihat dari pendekatan Couldry tentang tindakan kebiasaan yang berlandaskan nilai, maka rutinitas dalam berinteraksi dengan peramban AI dilakukan dengan adanya dorongan nilai.
Ketika seseorang sudah berada pada tahapan tersebut, umumnya seseorang tersebut akan mengakses peramban dengan AI sebagai bagian dari kehidupan sehari-harinya. Hal tersebut ditunjukkan pada informan pertama yang menjelaskan bagaimana ia menggunakan kecerdasan buatan dalam kegiatan sehari-hari.
Informan memiliki Google Nest Home Mini yang menggunakan peramban AI yang mampu terhubung dengan internet dan ponsel pemilik yang memiliki basis program google atau android. Hal tersebut digunakan oleh informan untuk melakukan kegiatan sehari-hari atau kebiasaan hariannya. Kegiatan yang dilakukan dengan kebiasaan tersebut adalah memutar lagu, berita, cuaca, dan perangkat pintar dalam rumah yang terhubung dengan peramban Google Nest Home Mini seperti televisi. Kebiasaan tersebut merupakan salah satu contoh dalam kegiatan sehari-hari. Tapi bagaimana dalam kegiatan pendidikan?
Dorongan untuk menggunakan peramban AI untuk kegiatan pendidikan ini termasuk ke dalam kebiasaan yang dilandasi oleh nilai. Couldry (2003) menyebutkan bahwa ketika sebuah tindakan kebiasaan itu dilandasi dengan nilai, maka kebiasaan tersebut diikuti dengan kegunaan dan tujuan. Maksudnya adalah ketika seseorang melakukan kebiasaan, seseorang memiliki dorongan bahwa kebiasaan tersebut memiliki manfaat dan tujuan bagi dirinya.
Kemudian, manfaat dan tujuan tersebut menjadi nilai dalam kehidupannya sehingga kebiasaan tersebut tidak bisa lepas dari kehidupan sehari-hari. Menilik kembali pada peramban AI dan kebiasaan yang berlandaskan nilai, maka dapat ditemukan bahwa penggunaan peramban tersebut mendorong seseorang untuk memanfaatkan kecerdasan ilmiah. Di mana ia melakukan pekerjaan sehari-hari, termasuk tugas akademis, dibantu oleh peramban AI.
Barang tentu tujuan dalam penggunaan peramban tersebut dilandasi oleh dorongan manfaat dan kegunaan bagi dirinya. Dapat kita temukan bagaimana sebagian orang memanfaatkan peramban AI sebagai jalan pintas untuk melakukan pekerjaan. Pada temuan netnografi ketika menyelam di dalam media sosial Twitter, banyak ditemukan bagaimana diskusi tentang penggunaan AI ramai untuk dibahas. Dalam hal pendidikan pun, AI dapat dilatih sedemikian rupa sehingga mampu melakukan analisis terhadap permasalahan yang disajikan oleh user atau pengguna.
Berlandaskan perspektif Couldry (2003) tentang kebiasaan yang didasarkan nilai, dapat ditemukan bahwa pemanfaatan AI dalam dunia pendidikan termasuk dalam klasifikasi kebiasaan tersebut. Dorongan untuk mencapai manfaat dan nilai guna dari kebiasaan menggunakan AI menjadi kata kunci dalam klasifikasi.
Sehingga ditemukan bahwa penggunaan AI seperti ChatGPT, Phind, ChatPDF, hingga C.Ai merupakan bentuk dari kebiasaan yang dilandaskan pada nilai. Salah satu utas yang muncul dalam linimasa Twitter, ditemukan bagaimana seseorang mengumpulkan berbagai sumber peramban yang mampu meningkatkan efektivitas ketika menggunakan AI untuk membantu pekerjaan harian. Pun tidak sedikit pula diikuti dengan kiat-kiat dalam menggunakan AI sehingga mampu menghasilkan analisis yang sesuai dengan apa yang diinginkan oleh pengguna.
Tidak berhenti di sana, AI pun dapat dilatih dengan sedemikian rupa karena AI lewat model algoritma reinforcement learning, peramban tersebut mampu mendapatkan input pengetahuan dari user dan mampu memberikan output yang telah dipelajari oleh peramban.
Pola perilaku yang terwujud dalam penggunaan AI ini dapat ditemukan pula dalam proses penyusunan artikel ilmiah yang dilakukan pada peramban ChatGPT. Pengguna bisa mengarahkan AI tersebut untuk berperan sebagai penulis karya ilmiah atau bahkan peneliti. Dengan memberikan beberapa poin-poin gagasan, pengguna dapat mengarahkan AI untuk menghasilkan tulisan berdasarkan ide popok gagasan yang diberikan. Sehingga hal ini memudahkan dan memberikan efisiensi waktu ketika menggunakan AI.
Tidak berhenti di sana, terdapat pula peramban AI yang bernama Phind. Di mana peramban tersebut memiliki fitur untuk menyediakan jawaban dengan rujukan. Peramban tersebut memberikan beberapa rujukan dari akses data terbuka di internet. Sehingga pengguna bisa melakukan kurasi atas jawaban dari rujukan yang diberikan.
Pun, pengguna bisa meminta saran kepada AI dalam mencari rujukan jurnal ilmiah selama sumber tersebut dapat diakses secara terbuka. Kemampuan AI ini disinyalir mampu memberikan referensi yang begitu luas dan menyasar pada rujukan yang tepat sesuai dengan kebutuhan peneliti. Di samping itu, Phind mampu memberikan rangkuman atas sebuah jurnal atau pun buku yang memang tersedia secara daring.
Ini sangat membantu bagi pengguna di ranah pendidikan untuk cepat mendapatkan informasi yang dibutuhkan. Diikuti pula dengan peramban dengan fitur yang mirip dalam memberikan rangkuman. Yakni, peramban ChatPDF di mana AI dalam peramban tersebut membantu pengguna untuk menampilkan poin-poin yang ingin diketahui oleh pengguna. Pengguna bisa mengunggah file pdf yang dibutuhkan, setelah itu pengguna mampu bertanya tentang apa yang ingin diketahui. Demikian, AI akan memberikan jawaban atas informasi yang tersedia di dalam file tersebut. Tentunya ini sangat memudahkan dalam mendapatkan informasi dengan waktu yang cukup efisien.
Berakar dari temuan data, maka dapat ditemukan bahwa penggunaan AI menjadi kebiasaan baru di dunia digital. Kebiasaan yang dituntun oleh nilai akan membuat seseorang terus menggunakan peramban AI sebagai pelengkap kebutuhan hidupnya. Pun hal tersebut sesuai dengan perspektif Couldry (2003) dalam kategori kebiasaan yang didasarkan pada nilai. Beberapa peramban memiliki kegunaan dan manfaatnya masing-masing.
Para pengguna pun akan memiliki kebiasaan baru dalam mengumpulkan dan mengolah data menggunakan peramban AI. Sehingga dapat ditemukan bahwa dampak signifikan dalam pendidikan adalah bagaimana AI mampu mengerjakan tugas dalam ranah akademis. Penggunaan AI dalam ranah tersebut kemudian mempermudah seseorang dalam mengerjakan tugas sehari-hari mereka. Kemudian hal tersebut menuntun pada dilema etika dalam ranah akademis sebagaimana disampaikan oleh Profesor Bart Barendregt.
Prof Bart menyampaikan bahwa perkembangan teknologi selalu diikuti dengan kecemasan masyarakat karena didasari oleh ketidaktahuan dan takut akan ketertinggalan informasi. Diskursus pun muncul di mana AI mampu menggeser tugas analisis yang dilakukan oleh manusia yang kini akhirnya dilakukan oleh algoritma peramban AI.
Dari hal tersebut, Prof Bart menyampaikan bahwa ketergantungan pada AI akan membawa pada masalah dilema etika. Di mana manusia menciptakan sesuatu untuk mempermudah hidupnya, tetapi manusia menjadi bergantung atas apa yang diciptakannya. Ketergantungan tersebut akan menggeser daya manusia untuk mengerjakan sesuatu oleh dirinya sendiri dan bergantung pada teknologi. Sehingga hal ini menjadi titik menggunakan teknologi secara kritis.
Menilik temuan Salvagno, Taccone dan Gerli (2023), peramban ChatGPT memiliki kegunaan dalam dunia akademis. Terlebih pada ranah penulisan karya ilmiah dan menjadi asisten dalam mengolah material, bahkan melakukan proof reading. Kemampuan peramban tersebut dalam melakukan pekerjaan manusia merupakan landasan bagi masa depan di mana kecerdasan buatan mampu melakukan pekerjaan intelegensia yang mirip dengan manusia.
Kendati demikian, peneliti tidak menyarankan untuk menelan mentah-mentah informasi yang diberikan oleh kecerdasan buatan. Pun, peneliti juga menilai bahwa untuk saat ini peramban AI tersebut tidak bisa menggantikan peran manusia dalam mengambil keputusan. Untuk itu, diperlukan nalar kritis ketika menggunakan peramban AI. Masalah etika dalam dunia pendidikan juga menjadi poin pertimbangan oleh peneliti, di mana terdapat risiko plagiarisme dan tidak akuratnya data yang disajikan oleh peramban AI.
Masalah etika tersebut kemudian disinggung oleh Russell dan Norwig (2010 dalam Upadhyay, 2022, p. 112), di mana mereka menilai bahwa AI tidak bisa menggantikan sikap manusia dalam hal moral. Meski di masa depan AI memiliki kecerdasan yang lebih dari manusia, AI tidak bisa menggantikan nilai sosial dan moral.
Bila ini berkaitan dengan dunia pendidikan maka dapat dinilai bahwa nilai sosial dan moral merupakan bagian penting dalam etika akademis. Nilai tersebut menjadi benteng moral agar tidak menyalahgunakan AI dalam dunia akademis. Tak hanya nilai sosial dan moral, secara hukum AI perlu diperhatikan. Sebab, hingga saat ini AI tidak dilandasi oleh hukum. Untuk itu Upadhyay (2022) menilai bahwa perlunya landasan hukum untuk mengatur keberadaan AI. Hal tersebut berfungsi untuk memberikan kekang moral agar AI tidak disalahgunakan.
Dari sudut pandang Islam, AI masih menjadi bahan perdebatan di antara intelektual muslim dengan pengembang AI. Dilansir dari Ahuja (2021) Dr. Junaid Qadir dan Amana Raquib, intelektual muslim, melakukan pertimbangan etis atas keberadaan AI. Sebab ini menjadi sebuah perdebatan atas penciptaan keberadaan kecerdasan buatan. Dr. Qadir dan Raquib menilai bahwa AI seharusnya didesain sesuai dengan aturan dalam Al-Quran. Di mana manusia tidak bisa melebihi batas-batas mereka, sebagaimana QS. Ar-Rahman: 33 berbunyi,
“Wahai golongan jin dan manusia! Jika kamu sanggup menembus penjuru langit dan bumi, maka tembuslah. Kamu tidak akan mampu menembusnya kecuali dengan kekuatan Allah.”
Pada ayat tersebut Allah menegaskan bahwa manusia dan jin tidak bisa lepas dari tanggung jawab. Pun, disebutkan pula bagaimana manusia memiliki kelemahan dan akan berhadapan dengan kuasa Tuhan (Tafsir Surat Ar-Rahman Ayat 33, 2023). Berakar dari tafsir tersebut, kita bisa melihat bagaimana manusia yang menciptakan kecerdasan buatan adalah upaya untuk melewati batas mereka untuk memiliki kuasa dalam mencipta.
Tetapi, berakar pada nilai etika ayat tersebut, manusia tidak akan bisa menyamai kuasa Tuhan. Dengan demikian, perlu dipahami bahwa penggunaan AI harus disertai dengan nalar kritis, etika, dan spiritual. Sehingga tidak ada penyalahgunaan dalam penggunaan AI terlebih dalam bidang pendidikan.
Untuk itu, benteng moral penggunaan AI tidak hanya berakar dari sisi hukum dan norma sosial saja. Tetapi, nilai spiritual agama juga perlu dipertimbangkan. Daya kritis terhadap sesuatu yang diciptakan manusia sendiri tentu tidak akan pernah bisa menyamai daya cipta Allah.
Maka dari itu, penggunaan AI dalam bidang pendidikan perlu dikritisi, sehingga kita tidak mudah percaya dengan apa yang disampaikan oleh peramban AI. Di sisi lain, kita bisa memanfaatkan AI untuk membantu kita dalam pekerjaan akademis. Yaitu, menjadikan AI sebagai bahan referensi dalam mencari ide ataupun menjadi co-writer dalam proses penyusunan tugas ilmiah. Tetapi, catatan pentingnya adalah dengan mempertimbangkan sisi hukum, moral, nilai sosial, dan spiritual.
Kesimpulan
Kebiasaan penggunaan AI dalam dunia akademis, menurut perspektif Couldry (2003), termasuk ke dalam kebiasaan yang dilandaskan oleh nilai. Peramban kecerdasan buatan memiliki kemampuan untuk memberikan efisiensi dalam mendapatkan dan mengolah data menjadi bahan tulisan bagi penggunanya. Namun, keberadaan AI ini menimbulkan dilema etika yang memberikan ketergantungan pada teknologi. Pun ketergantungan tersebut mampu mempengaruhi daya manusia dalam mengerjakan pekerjaan. Untuk itu, muncul saran dari para peneliti untuk tidak terlalu bergantung pada keberadaan AI. Pengguna perlu kritis dalam menggunakan peramban AI.
Selain kritis, pengguna perlu memahami nilai moral dan sosial yang tidak dimiliki oleh AI. Kendati di masa depan AI akan melebihi kecerdasan manusia karena akumulasi pengetahuan yang sifatnya lebih awet, tetapi hal tersebut tidak bisa menggantikan norma yang dimiliki manusia. Tidak berhenti di sana, terdapat pula etika spiritual yang diperlukan untuk menambal kekosongan dalam dilema etika pada penggunaan AI. Hal ini diperlukan untuk memahami bahwa ciptaan manusia tidak akan bisa menyamai kuasa Tuha. Sehingga benteng moral dan etika ini mampu memberikan pengguna kesadaran selama menggunakan atau memanfaatkan AI dalam lingkungan pendidikan.
Penulis: Muhammad Naufal Rabbani/072011733038
Daftar Pustaka
Ahuja, S. (2021) Muslim scholars are working to reconcile Islam and AI, Wired. Available at: https://www.wired.co.uk/article/islamic-ai (Accessed: 16 May 2023).
Bakry, U. S. (2017) ‘Pemanfaatan Metode Etnografi dan Netnografi Dalam Penelitian Hubungan Internasional’, Jurnal Global dan Strategis, 11(1).
Bo Zhang, Jun Zhu, H. S. (2023) ‘Toward the Third Generation Artificial Intelligence’, Information Science, 6, pp. 1–19. doi: https://doi.org/10.1007/s11432-021-3449-x.
Couldry, N. (2003) Media Rituals A Critical Approach. London: Routledge.
King, M. R. (2023) ‘A Conversation on Artificial Intelligence, Chatbots, and Plagiarism in Higher Education’, Celluar and Molecular Bioengineering, 16(1), pp. 1–2. doi: https://doi.org/10.1007/s12195-022-00754-8.
Salvagno, M., Taccone, F. S. and Gerli, A. G. (2023) ‘Can Artificial Intelligence Help for Scientific Writing?’, BMC, 27(75), pp. 1–5. doi: https://doi.org/10.1186/s13054-023-04380-2.
Tafsir Surat Ar-Rahman Ayat 33 (2023) Tafsirweb.com. Available at: https://tafsirweb.com/10381-surat-ar-rahman-ayat-33.html (Accessed: 16 May 2023).
Upadhyay, A. (2022) ‘Artificial Intelligence and Ethics’, in Ethics and Values in Organization: Contemporary Issues and Challenges, pp. 101–112. doi: https://doi.org/10.31995/Book.AB274-M23.Chapter8.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H