Mohon tunggu...
Muhammad Mutakin
Muhammad Mutakin Mohon Tunggu... -

Seorang Pengusaha Muslim

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Huru-Hara di Akhir Tahun

30 Desember 2011   19:09 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:33 219
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kembali kepada acara rutin menyambut tahun baru, ada juga sekelompok umat yang mentransfer perayaan kaum kafir tersebut untuk diaplikasikan kepada tahun baru Hijriyah. Sejumlah acara pun digelar, seperti dzikir akbar, tabligh tolak-bala 2012, do’a bersama, hingga konser nasyid semalam suntuk. Di awal dan di penghujung sesi, do’a pun dipanjatkan, “Ya Allah, jauhkanlah kami dari keburukan diri-diri kami dan dari apa-apa yang tidak sesuai dengan apa yang telah dicontohkan oleh rasul-Mu, serta selamatkanlah kami dari siksamu…”

Dalam sebuah hadistnya, Rasulullah saw telah bersabda,

مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌ.

Artinya, “Barangsiapa yang mengada-adakan dalam urusan (agama) kami ini yang bukan berasal darinya, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Bukhari-Muslim)

Ketahuilah bahwa apabila Rasulullah mencontohkan sesuatu, maka orang yang paling dahulu mengikutinya adalah para sahabat dan orang-orang beriman yang bersamanya. Sebaliknya, apabila orang-orang terdekatnya saja tiada pernah mengerjakannya, lalu bagaimanakah lagi dengan pernyataan: “Bahwa amalan ini baik atau amalan itu baik, lihatlah apa yang dibacakan didalamnya berikut seruan dakwah yang memenuhinya. Mengapakah kita tidak menggantikan posisi kemeriahan tahun baru Masehi di tahun baru Hijriyah?” Hmm, sepertinya ini sih dalih untuk sekedar mengakali ancaman Rasulullah terhadap umatnya yang mencoba menyerupai apa-apa yang dikerjakan oleh kaum lain yang tidak ada contohnya dari beliau. Tasyabbuh, begitu istilahnya.

Sementara pada beberapa literatur dikhabarkan bahwa asal-usul perayaan tahun baru Masehi didasarkan pada kebudayaan Persi kuno yaitu ketika Raja Nairuz naik tahta menjadi raja untuk kaumnya yang menjadikan api sebagai sesuatu yang dipuja-puja. Mereka kaum Majusi yang menganggap api sesuatu yang memiliki kekuatan sehingga karena kepercayaan itulah mereka menetapkan tanggal 1 Januari sebagai hari penobatan raja baru yaitu yang dipersangkakan sebagai hari terciptanya api. Sepanjang malam mereka berpesta, menyalakan bunga-bunga api, mengkonsumsi minuman keras, dan turun ke jalan-jalan. Adakah kesamaan dengan yang terjadi pada masa-masa sekarang ini?

Perayaan pesta kembang api, acara panggung seni dengan bertabur artis papan-atas ibukota, konvoy malam keliling kota, bakar-bakar ikan tepi pantai, countdown detik-detik pergantian tahun secara bersama-sama, meniup terompet, menampakkan keriangan dengan melakukan toast ala film cowboy, semuanya tampak sudah sah-sah saja di negeri ini. Perhelatan besar-besaran ini pun bukan hanya pesta rakyat semata, tapi sudah pula diselenggarakan dan dibantu kemeriahannya oleh negara. Lihat saja gemerlapnya malam di pusat kota-kota besar, suasana yang dalam al-qur’an disebutkan “Jadikanlah malammu untuk istirahat” atau di ayat lain berbunyi “Jadikanlah malammu untuk akhiratmu”, justru dihidupkan dengan beragam kegiatan penghantar kemaksiatan atau paling tidak sebagai fasilitas untuk kegiatan yang tak ada faedahnya. Perhatikanlah ketika kemaksiatan itu ditata dengan bahu-membahu, mulai dari masyarakat umum, pusat perbelanjaan, instansi pemerintah hingga lembaga keamanan negara. Mulai dari orang nomor satu hingga orang yang sedang sibuk cari-cari kursi, dengan senang hati menyempatkan diri  untuk muncul mengucapkan kata-kata sambutan yang disiarkan live sampai ke pelosok kampung. Semua tampak saling satu-padu, ada yang bertugas mengeruk uang rakyat dengan menggelar diskon gila-gilaan, ada yang bertugas menyusun program acara Kemaksiatan Massal, ada juga yang berperan aktif menjaga keberlangsungan perhelatan akbar umat kafir itu agar tak diobrak-abrik sebuah ormas Islam… Sebagian lagi justru mengupayakan menolak kemaksiatan dengan bid’ah, “Daripada masyarakat joged di tepi pantai, kan lebih baik kalau mereka diajak dzikiran bersama, mas!” Begitu kelit salah seorang panitianya.

Menjelang fajar hingga waktu ayam jantan berkokok, saat itu usailah kemeriahan. Tinggallah yang ada sisa-sisa pesta semalam suntuk dan sampah-sampah kembang-api yang berserakan mengotori jalan. Spirit yang menggebu-gebu untuk mengisi lembaran tahun yang baru saja datang itu, tampak menguap ke udara pagi yang masih bercampur dengan asap-asap kemaksiatan. Sementara para penikmat malam tahun baru, tengah pulas tertidur. Entahlah apakah sempat untuk sholat subuh…

Sungguh memilukan nasib sebagian besar umat di negeri ini, lima kali sehari merintih meminta kebahagiaan dunia-akhirat, siang-malam tekun berupaya memperbaiki jenjang hidup agar tak lagi berada dibawah garis kemiskinan, tapi sepanjang waktu pula melumuri umur dengan penyakit tasyabbuh, penyakit ujub-riya’-dan sum’ah, penyakit sihir dan perdukunan, ataupun penyakit TBC (Takhayul, Bid’ah, Churafat). Negeri ini tak ubah layaknya sarang penyakit. Belum habis satu diberantas, sudah kambuh lagi penyakit yang lain.Sebahagian orang justru menganggap negeri ini negeri hantu. Tak percaya? Coba amati ensiklopedi roh gentayangan versi orang Indonesia: ada kuntilanak, pocong, mak lampir, sundel bolong, suster ngesot, nyi roro kidul, sampai kolor ijo yang sempat meresahkan kaum wanita beberapa waktu lalu. Ternyata ada benarnya juga lirik klasik yang mengatakan bahwa Indonesia itu tanah surga, bahkan tongkat kayu dan batu jadi tanaman… Terapannya untuk saat ini adalah bahwa apa saja laku dijadikan ladang bisnis di Indonesia, sampai-sampai hantu pun jadi artis utama layar lebar.  Dan ketika akidah rontok karena bersinggungan dengan nafsu dunia, mulai didaulatlah hantu sebagai tuhan, naudzubillahi min dzaalik! Itu dilakukan oleh muslim yang notabene masih mengaku sholat, apatah lagi dengan yang jarang sholat atau malah yang sudah merasa tak perlu sholat lagi karena yakin telah sampai pada derajat maqam. Pantas saja bencana tak habis-habisnya turun menimpa.

Fakta tersebut juga merupakan beberapa faktor dari penyebab kemunduran kaum muslimin sendiri. Menjauh dari ilmu yang dibawa para salafush sholeh, tidak menerapkan syari’at secara kaffah, mempertuhankan hawa nafsu dan cinta dunia, serta tasyabbuh kepada millah Yahudi dan Nasrani. Patut disadari bahwa mereka adalah umat kadaluarsa karena telah lewat masanya mereka mengutamakan ajaran nabi-nabi serta nenek-moyang mereka. Cukuplah sudah Rasulullah sebagai pengganti dan penyempurna hingga akhir zaman. Allah Ta’ala berfirman;

Artinya,”Dan (ingatlah) ketika Isa Ibn Maryam berkata, “Hai Bani Israil, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan kitab sebelumku, yaitu Taurat, dan memberi kabar gembira dengan (datangnya) seorang Rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad).” Maka tatkala Rasul itu datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata, mereka berkata, “Ini adalah sihir yang  nyata.” (QS. ash-Shaff, 61:6)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun