Kebencian pada persona pemimpin agama berbuah sinisme ke ajaran agama itu sendiri. Maka bermunculanlah tajuk pementasan ludruk yang dinilai melecehkan Tuhan seperti Matine Gusti Allah atau Gusti Allah Mantu yang menimbulkan resistensi dari Gerakan Pemuda (GP) Ansor NU yang tidak bisa berbuat banyak karena ada perlindungan dari aparat negara yang bersimpati ke komunisme.
Puncak ambisi PKI adalah mendukung Gerakan 30 September 1965 yang menewaskan enam jenderal Angkatan Darat (AD) dan membentuk Dewan Revolusi yang mendemisioner Kabinet Dwikora yang tentu saja ditentang Presiden Sukarno sehingga aksi ini kehilangan legitimasi politiknya sebelum meluas ke daerah.
Kaum santri yang sebelum peristiwa ini meletus selalu siaga menghadapi massa PKI setiap terjadi aksi sepihak, menemukan teman senasib-sepenanggungan, dalam hal ini tentara yang pimpinannya terbunuh, untuk menyerang balik ketika situasi sekarang tidak lagi menguntungkan PKI.
Penangkapan tokoh PKI dan underbouw-nya, termasuk pemain ludruk yang berinduk ke Lekra, tak jarang berujung ke pembantaian massal yang mengantar kengerian massa karena banyak mayat yang dibuang begitu saja di Kali Brantas alih-alih dimakamkan selayaknya masyarakat umum karena anggapan PKI tak beragama.
Selain PKI yang kemudian dilarang Jenderal Soeharto yang mengklaim mendapat mandat Presiden Sukarno untuk menyelamatkan negara melalui Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar), ludruk yang dicitrakan sebagai media propaganda PKI juga terkena imbasnya, meski pelarangan ludruk tidak sampai berlarut-larut mengingat manfaat yang mungkin bisa diambil Orde Baru darinya.
Militer yang merupakan penguasa de facto Indonesia pasca Sukarno menjadi patron baru grup ludruk memasuki era baru yang sama sekali berbeda. Bila di zaman penjajahan ludruk berada di barisan pejuang, lalu di masa revolusi bersama komunis melawan kapitalis, kini di dalam kontrol militer mesti mendukung program pemerintah.
Dalam situasi yang membelenggu kreativitas inilah muncul sosok Cak Kartolo yang tuwuk keluar-masuk grup-grup ludruk militeristik tersebut.
Bersama teman-temannya, terutama Cak Sapari, terbentuklah grup Kartolo Cs yang membawa suasana baru karena lawakannya yang dominan, sedikit mirip grup lawak Srimulat yang tengah menguasai panggung Ibukota Jakarta kala itu, hanya saja Kartolo Cs tetap setia dengan pakem ludruk lengkap dengan kidung jula-juli-nya.
Kartolo Cs tetap apolitis meski rezim Orde Baru akhirnya tumbang karena tuntutan reformasi. Ludruk tidak pernah kembali seperti era Cak Durasim yang menentang penguasa, juga tidak mungkin kembali seperti masa Lekra yang membelah bangsa. Mungkin inilah yang membuat ludruk Kartolo Cs bisa bertahan sekian lama. Sampai kabar duka itu datang pertengahan September tahun ini saat punggawa penting Kartolo Cs, Cak Sapari, harus 'turun panggung' untuk selamanya. Cukup Cak Sapari, ludruk tak boleh ikut mati!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H