Kematian tokoh protagonis dalam sebuah drama selalu membawa perasaan kehilangan bagi para penontonnya. Meski setelah layar ditutup semua akan menyadari bila semua kejadian itu fiktif belaka. Pemeran tokoh yang meninggal tadi tentu saja masih hidup setelah turun panggung. Bila kita berkesempatan menjumpainya mungkin kita bisa memberikan apresiasi atas aktingnya yang sempurna.
Kamis 15 September 2022 lalu Cak Sapari, legenda hidup ludruk Jawa Timur, meninggal dunia di rumahnya, kawasan Sidomulyo Baru, Surabaya, setelah berjuang melawan penyakit diabetes yang menderanya beberapa tahun terakhir.
Semua orang di dekatnya menangis, terutama Cak Kartolo, rekan seprofesinya dalam grup Kartolo Cs. Kepergian Cak Sapari memang tidak seperti kematian Sakerah atau Sarip Tambak Oso, dua lakon ludruk yang akan 'hidup kembali' pada pementasan berikutnya. Cak Sapari benar-benar meninggalkan kita untuk selamanya.
Kartolo Cs yang mulai manggung tahun 1980-an ialah pembaru ludruk yang dinilai kerap membosankan pada dua dasawarsa sebelumnya. Pemain ludruk tak ubahnya juru penerang pemerintah Orde Baru tentang keberhasilan pembangunan nasional.
Banyaknya grup ludruk yang bernaung ke militer, misalkan Ludruk Marinir Gajahmada, Surabaya, yang pernah diikuti Cak Kartolo yang notabene bukan tentara, menjadikan ludruk kehilangan watak mandiri dan kritis seperti awal kemunculannya.
Sebagai kesenian tradisional, ludruk memang sulit diketahui siapa pencetusnya pertama kali. Namun perkembangannya di Jawa Timur yang jauh dari kultur Mataraman membuat ludruk tampak berbeda dengan ketoprak yang bermula dari pusat kebudayaan Jawa, Surakarta Hadiningrat. Bila ketoprak berkisah mengenai legenda dan kerajaan, dengan tingkat bahasa yang disesuaikan dengan masyarakat di sekitar kraton, cerita dalam ludruk dan bahasa yang digunakan lebih dekat dengan keseharian rakyat jelata.
Karena bersentuhan dengan nasib wong cilik itulah ludruk sering kali menampilkan lakon pembela kawula dari kesewenang-wenangan penguasa seperti Sakerah dari Bangil, Pasuruan, dan Sarip Tambak Oso dari Sidoarjo. Kedua pahlawan lokal melawan kolonialisme Belanda yang terpinggirkan dari sejarah arus utama karena kehidupannya yang berbalut mitos ini tetap lekat di benak banyak orang karena kisahnya kerap direkonstruksi di panggung ludruk.
Karakter bersahaja tapi berprinsip kuat dari ludruk itu rupanya menarik perhatian pendiri Boedi Oetomo, Dokter Soetomo, yang kemudian rutin mengundang Loedroek Organitatie (LO) yang dipimpin Cak Durasim untuk tampil rutin di Gedung Nasional Indonesia (GNI) di Jalan Bubutan, Surabaya. Wacana kebangkitan nasional yang semula cuma dikonsumsi segelintir elite kini mudah dicerna semua lapisan sosial.
Serbuan tentara Dai Nippon ke Hindia Belanda awalnya membawa harapan baru bagi perbaikan nasib pribumi. Propaganda 3A (Nippon Tjahaja Asia, Nippon Pelindoeng Asia, dan Nippon Pemimpin Asia) yang digencarkan pemerintah pendudukan Jepang ternyata cuma buat menarik simpati pribumi yang kemudian dieksploitasi sumberdayanya untuk kepentingan Perang Asia Timur Raya.
Lumbung petani dijarah hingga timbul kelaparan dimana-mana. Tenaga pemuda diperas dalam kerja paksa yang disebut romusha. Menyaksikan semua itu Cak Durasim tergerak melantunkan kidung, "Pagupon omahe doro..melok Nippon tambah soro.." yang membuatnya ditangkap dan disiksa di penjara Kalisosok sampai meninggal dunia.
Kedekatan ludruk dengan rakyat kecil berlanjut di era revolusi. Partai Komunis Indonesia (PKI) melalui Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) memanfaatkan ludruk untuk propaganda perjuangan kelas. Banyak lakon ludruk yang menyasar kapitalis lokal sebagai setan desa yang harus diganyang, tidak peduli pemilik tanah luas itu kiai yang sebagian di antaranya berasal dari wakaf umat Islam, khususnya warga Nahdlatul Ulama (NU).